Skip to main content
Category

Article

pengaruh pendidikan keuangan pada pengetahuan keuangan dan kesejahteraan karyawan, act consulting

Pengaruh Pendidikan Keuangan pada Pengetahuan Keuangan dan Kesejahteraan Karyawan

By Article No Comments

Prawitz dan Cohart (2014) mengutip hasil penelitian dari American Psychological Association menyampaikan bahwa masalah keuangan adalah unsur paling dominan yang menjadi penyebab stress seseorang (primary cause of stress).

Karena seseorang menghabiskan sekitar 56% dari jam bangun mereka di tempat kerja (Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika, 2009; 2010) dalam mengejar akuisisi sumber daya  untuk mendukung rumah tangga mereka, tempat kerja adalah tempat yang logis untuk menawarkan pendidikan keuangan untuk membantu karyawan menjadi lebih efektif dalam alokasi sumber daya tersebut.

Prawitz & Cohart (2014) menyampaikan hasil penelitian yang mereka lakukan mengenai pemberian pendidikan keuangan oleh perusahaan kepada para karyawan mereka. Collins dan Dietrich (2011) mengukur pengetahuan keuangan karyawan credit union setelah pendidikan keuangan di tempat kerja dan menemukan bahwa pengetahuan keuangan meningkat bagi para peserta di bidang bunga dan pinjaman, skor kredit, saham dan obligasi, dan investasi pensiun. Efeknya bertahan dari waktu ke waktu, dan enam bulan kemudian, masih terbukti di keempat bidang pengetahuan (Collins & Dietrich, 2011).

Sementara perubahan positif dalam pengetahuan keuangan adalah penting, para peneliti juga telah tertarik pada apakah peningkatan pengetahuan menyebabkan perubahan dalam persepsi kesejahteraan finansial dan kepercayaan terhadap kemampuan manajemen keuangan seseorang. Kesejahteraan finansial yang dipersepsikan, atau kesejahteraan finansial yang dipersepsikan, mengacu pada penilaian subyektif individu atas kondisi keuangan pribadi mereka, yang berfokus pada persepsi dan perasaan tentang situasi keuangan mereka alih-alih pada pendapatan atau aset lainnya (Prawitz et al., 2006a).

Konstruk tersebut dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah kontinum yang meluas dari tekanan finansial yang luar biasa / kesejahteraan finansial terendah hingga tidak ada tekanan finansial / kesejahteraan finansial tertinggi (Prawitz et al., 2006a).

Sejumlah cendekiawan telah menguji pengaruh pendidikan finansial pada persepsi peserta tentang situasi keuangan mereka.  Prawitz, Kalkowski, dan Cohart (2011), misalnya, menemukan bahwa pendidikan keuangan secara positif mengubah persepsi peserta tentang kemampuan mereka untuk menangani masalah keuangan dan mencapai tujuan keuangan.

Selain itu, peserta melaporkan peningkatan kesejahteraan keuangan yang dirasakan dan harapan untuk masa depan keuangan mereka setelah delapan minggu pendidikan keuangan (Prawitz et al., 2011).

Para peneliti telah menemukan bahwa peserta pendidikan keuangan di tempat bekerja kemudian melaporkan kepuasan yang lebih besar dengan kemampuan mereka untuk mengkalkulasi hingga melakukan akumulasi tabungan pribadi dan tabungan pensiun (Garman, Kim, Kratzer, Brunson, dan Joo, 1999; Joo & Grable, 2005).


Prawitz dan Cohart juga mengutip pendapat DeVaney, Gorham, Bechman, dan Haldeman (1995) yang menemukan bahwa mereka yang memiliki pendidikan finansial lebih banyak melaporkan kepercayaan yang lebih besar pada kemampuan mereka untuk membuat keputusan keuangan. Secara keseluruhan,banyak penelitian yangunjukkan bahwa pendidikan keuangan meningkatkan kemampuan seseorang untuk menangani urusan keuangannya secara mandiri.

Ada peningkatan minat dari pemilik usaha / pengusaha dalam beberapa tahun terakhir di Amerika untuk melakukan peningkatan kesejahteraan finansial dan literasi keuangan karyawan melalui penyediaan pendidikan keuangan tempat kerja. Banyak pengusaha menyediakan pendidikan keuangan. Pendidikan ini berisi tentang perencanaan pensiun dan investasi, dan juga memberikan tentang strategi manajemen keuangan pribadi.

Program semacam itu, menurut Prawitz dan Cohart (2014), menargetkan konsep keuangan dasar seperti rencana pengeluaran, tabungan, asuransi, dan perencanaan perumahan, selain juga memberikan perencanaan pensiun dan investasi, meningkatkan keterampilan manajemen keuangan pribadi dan menyehatkan  keuangan karyawan.

Definisi Society 5.0 dan Unsur Apa saja yang Diperlukan

By Article No Comments

Serpa (2018) menyajikan sejumlah definisi yang ditemukannya berkaitan dengan pembentukan society 5.0 di negaranya, Portugal. Ia banyak mengutip tempat asal konsep Society 5.0 yaitu Jepang diantaranya definisi menurut Harayama (2017) bahwa “Society 5.0 adalah masyarakat informasi yang dibangun di atas Society 4.0, yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang berpusat pada manusia” (hal. 10)

Serpa (2018) menyampaikan bahwa Society 5.0 mengusulkan untuk “memajukan potensi hubungan individu dengan teknologi dalam mendorong peningkatan kualitas hidup semua orang melalui masyarakat super pintar (super smart society) ” (Serpa & Ferreira, 2018, paragraf 1) dan yang muncul, sebagian , sebagai konsekuensi penerapan konsep Industri 4.0. dan dampaknya (Shamim, 2017 et al).

Diungkapkan pula bahwa Industri 4.0 sangat sering dianggap sebagai revolusi industri keempat karena efek mendalam yang dibawanya. Disebut revolusi juga karena akan membawa  paradigma baru dalam proses produksi  yang diterapkan di beberapa bidang kegiatan (Abreu, 2018 et al).

Industry 4.0 mengintegrasikan antara teknologi, ruang virtual dan manusia, antara dunia nyata dan dunia virtual, menghasilkan jaringan kolaborasi yang benar (García, 2017) yang didalamnya terdiri dari robot cerdas; simulasi otomatis; Internet of Things; cloud computing; penambahan manufaktur; dan big data analitik (Ang et al., 2017).

Serpa (2018) mengutip sejumlah ahli mengenai kelemahan dari industri 4.0, yaitu bahwa menurut Muller et al. (2018), perhatian Industry 4.0 terlalu fokus pada dimensi ekonomi dan teknologi (Pilloni, 2018). Dampak sosialnya juga harus diperhitungkan, serta, jelas, dampak teknologi (Morrar et al., 2017).

Serpa (2018) menyebut bahwa inovasi adalah konsep kunci lain dalam Industri 4.0 (Di Fabio, 2018, et al) Agar inovasi permanen terjadi, mekanisme pembelajaran sosio emosional individu dan fleksibilitas organisasi sangat penting, untuk perubahan, karena pembelajaran teknologi saja tidak cukup (Abreu, 2018 et al). Konteks ini, yang disajikan secara langsung, adalah salah satu fondasi ekonomi dan sosial mendasar dari kemunculan Society 5.0.

Konsep Society 5.0 muncul pada tahun 2015 di Jepang (Abreu, 2018), dalam inisiatif politik nasional strategis (Harayama, 2017). Society 5.0 mengikuti, sampai batas tertentu, Industri 4.0, dan, sementara Industri 4.0 berfokus pada produksi, Society 5.0 berupaya menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Ini juga memanfaatkan dampak teknologi dan hasil Industri 4.0, dengan pendalaman integrasi teknologi dalam peningkatan kualitas hidup, tanggung jawab sosial dan keberlanjutan (Serpanos, 2018)

Menurut Hayashi et al. (2017), dengan Society 5.0, Jepang berusaha untuk;

“menciptakan nilai-nilai baru dengan berkolaborasi dan bekerja sama dengan beberapa sistem yang berbeda, dan merencanakan standarisasi format data, model, arsitektur sistem, dll. Dan pengembangan sumber daya manusia yang diperlukan. Selain itu, diharapkan bahwa peningkatan pengembangan properti intelektual, standardisasi internasional, teknologi konstruksi sistem IoT, teknologi analisis data besar, teknologi kecerdasan buatan dan sebagainya mendorong daya saing Jepang dalam “masyarakat super pintar” (hal. 264).

Keidanren (Japan Business Federation) (2016) menyajikan, sesuai tujuan Society 5.0 adalah agar “setiap individu termasuk orang tua dan wanita dapat hidup aman dan terjamin kehidupan yang nyaman dan sehat dan setiap individu dapat mewujudkan gaya hidup yang diinginkannya”.

Untuk itu, peningkatan produktivitas melalui digitalisasi dan reformasi model bisnis didorong untuk terus berkembang, dan pada saat yang sama, ekonomi dan masyarakat baru akan diwujudkan dengan mempromosikan inovasi dan globalisasi.

Menurut Serpanos (2018, dalam Serpa, 2018) ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, yaitu

“integrasi dan peningkatan perangkat lunak, interoperabilitas jaringan, dan sinkronisasi, pemrosesan informasi, dan aplikasi real time, serta yang terpentin; keamanan” (hlm. 72) ).

Seperti yang disebut oleh Wang et al. (2018, dalam Serpa, 2018):

Teori dasar penelitian Society 5.0 adalah kecerdasan paralel, yang merupakan metodologi baru yang memperluas teori kecerdasan buatan tradisional ke sistem cyber-fisik-sosial (CPSS)” yang muncul “(hal. 6).

Untuk tujuan mewujudkan Society 5.0 ini menurut Keidanren (Japan Business Federation, 2016, hal. 14, dalam Serpa, 2018) diperlukan sejumlah unsur mekanisme dalam pemerintahan masing-masing negara yaitu;

–          Perumusan strategi nasional dan integrasi sistem komunikasi pemerintah,

–          Pengembangan undang-undang menuju penerapan teknologi terbaru

–          Pembentukan landasan pengetahuan

–          Keterlibatan dinamis semua warga negara dalam ekonomi baru dan masyarakat

–          Integrasi teknologi dan masyarakat sangat penting

karakteristik millenial di tempat kerja, act consulting

Karakteristik Millenial di Tempat Kerja

By Article No Comments

Shih Yung Chou (2012) dalam International Journal of Human Resource Studies memaparkan sejumlah temuan studi literature yang ditemukannya mengenai bagaimana perilaku Millenial di tempat kerja. Ia mengutip Hershatter dan Epstein (2010) yang mengeksplorasi cara-cara generasi Milenial  mendekati dunia kerja dan melihat bahwa Millenial mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan mereka dan mengharapkan akomodasi dari organisasi berdasarkan pengalaman, kebutuhan, dan keinginan mereka.

Dalam studi empiris tentang pengaruh generasi pada sikap kerja, Kowske, Rasch, dan Wiley (2010) menemukan bahwa Millennials memiliki tingkat kepuasan dan kepuasan terhadap perusahaan secara keseluruhan yang lebih tinggi daripada Generasi X dan Baby Boomers. dengan adanya rasa aman dalam bekerja, pengakuan, dan kemajuan karier yang lebih baik

Myers dan Sadaghiani (2010) membahas harapan Millenial tentang tempat kerja, gaya komunikasi, dan hubungan dengan anggota tim dan organisasi. Secara khusus, para peneliti ini memandang bahwa Millennial bekerja dengan baik dalam pengaturan tim, termotivasi oleh tugas-tugas signifikan, lebih suka komunikasi yang terbuka dan sering, dan memahami teknologi komunikasi.

Dalam studi lapangan mereka tentang generasi Millenial, Ng, Schweitzer, dan Lyons (2010) menemukan bahwa Millenials menekankan individualisme, mencari kemajuan karir dan pengembangan keterampilan, dan memastikan kehidupan yang bermakna dan memuaskan di luar pekerjaan

Demikian pula, dalam studi empiris mereka tentap motif mahasiswa kedokteran, Borges, Manuel, Elam, dan Jones (2010) menemukan bahwa Millennials memiliki kebutuhan sosial yang lebih besar, ikatan teman sebaya yang lebih erat, dan orientasi tim yang lebih kuat daripada Generasi Xers.

Chou (2012) melihat bahwa ada dua aliran dalam memandang millennial, aliran penelitian pertama berfokus pada sikap dan nilai kerja Millennial. Meskipun temuan yang konsisten belum ditunjukkan dalam literatur, secara umum telah ditunjukkan bahwa Millennial banyak berfokus pada aspek sosial pekerjaan seperti memiliki rekan kerja yang ramah dan lingkungan kerja yang menarik (Ng et al., 2010).  

Namun menurut Chou (2012), fokus aspek sosial di tempat kerja tidak mengakibatkan kurangnya upaya kaum Millenial di tempat kerja. Secara khusus, Millennial ditemukan menjadi pekerja keras, bertanggung jawab, berorientasi pada tim, dan altruistik (Elam, Stratton, & Gibson, 2007; Gloeckler, 2008).  

Alsop (2008) mendukung pandangan ini dengan mencatat bahwa perilaku altruistik Millenial terutama dipengaruhi oleh keluarga dan teman-teman mereka. Ini juga karena pola pikir mereka yang berorientasi pada tim, Millennial cenderung menunjukkan gaya manajemen inklusif di mana umpan balik langsung ditekankan (Lowe, Levitt, & Wilson, 2008).

Selain itu, Millenials telah ditemukan untuk menunjukkan tingkat harga diri dan ketegasan yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya (Twenge & Campbell, 2001) dan sangat percaya diri dengan kemampuan mereka (Harris-Boundy & Flatt, 2010).

Karakteristik ini juga ditemukan oleh Trzesniewski dan Donnellan (2010). Secara khusus, Trzesniewski dan Donnellan mengungkapkan bahwa Millennial cenderung memiliki tingkat harga diri dan locus of control eksternal yang tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Alur penelitian kedua membahas gaya komunikasi Millenial. Menurut penelitian sebelumnya, Millennial tidak hanya mencari komunikasi yang sering, positif, dan terbuka di tempat kerja terus-menerus tetapi juga mengumpulkan dan berbagi informasi dengan mudah (misalnya, Gursoy, Maier, & Chi, 2008; Hill 2002; Howe & Strauss, 2007; Tapscott , 1998; Marston, 2007; Martin, 2005; Zemke et al., 2000).

Dari perspektif ini, orang dapat berharap bahwa milenial sebagai pemimpin, akan memanfaatkan pendekatan komunikasi dua arah dan menekankan pentingnya memiliki hubungan timbal balik dengan bawahan. Sementara itu, literatur kepemimpinan telah menyarankan bahwa millennial cenderung memiliki pola kepemimpinan partisipatif. 

Yaitu yang melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, meminta saran bawahan, dan mendiskusikan masalah organisasi dengan bawahan (Chen & Tjosvold, 2006). Dengan demikian, ketika dihubungkan antara sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan gaya komunikasi Milllennials di tempat kerja, diharapkan Millennials akan menunjukkan gaya kepemimpinan partisipatif tingkat tinggi.

Dengan memahami kepemimpinan Millenial dan gaya mereka saat menjadi follower di tempat kerja, organisasi dan manajer dapat menyusun struktur dan desain tempat kerja untuk memaksimalkan kinerja para millenials ini.

mengapa investasi integritas bernilai tinggi, act consulting

Mengapa Investasi Integritas Bernilai Tinggi

By Article No Comments

Kerugian yang ditimbulkan oleh kurangnya integritas amat banyak dan tidak diragukan lagi. Berikut ini Hitch (2015) dalam publikasinya yang berjudul Return on Integrity (ROI): How Acting with Integrity Improves Business Results, mengungkapkan sejumlah hal yang dialami Volkswagen yang tengah mengalami kurangnya integritas;

• Mengikis kepercayaan pemegang saham;

• Merusak reputasi organisasi di pasar;

 • Menurunkan ekuitas merek;

• Mengurangi dukungan konsumen, dan;

• Sering mengakibatkan biaya pengacara dan denda pemerintah yang mahal (Schoeman, 2012 dalam Chris Hitch, Ph.D, 2015).

Semua faktor ini dapat membahayakan masa depan organisasi. Seperti skandal di Enron yang  menyebabkan kejatuhannya. Biaya ini, bagaimanapun, terjadi setelah kurangnya integritas telah go public.

Hitch (2015) memperlihatkan sejumlah studi lain yang melibatkan organisasi yang beroperasi dengan tingkat integritas yang tinggi menunjukkan bahwa ada keuntungan besar  untuk bertindak secara etis.

Sebuah studi tahun 2000 oleh Tony Simons, seorang profesor di Sekolah Administrasi Hotel Cornell University, menemukan bahwa karyawan hotel yang percaya bahwa manajer mereka dapat diandalkan untuk menjaga kata-kata mereka lebih loyal kepada hotel. Keyakinan ini menyebabkan rendahnya pergantian karyawan dan layanan pelanggan yang lebih baik yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan laba $ 250.000 (keuntungan hingga 3,5 milyar rupiah) per hotel per tahun (Simons, 2008).

Dalam sebuah studi berjudul “Penentu Reaksi Harga Saham terhadap Tuduhan Pelanggaran Korporat,”  Murphy, Shrieves, dan Tibbs menemukan bahwa dugaan pelanggaran yang  terjadi menyebabkan penurunan yang signifikan secara statistik dalam laba yang dilaporkan, hingga menyebabkan volatilitas harga saham (Kimmel, 2015). Studi lain menemukan bahwa organisasi dengan tingkat kepercayaan tinggi 2,5 kali lebih mungkin mengalami pertumbuhan pendapatan yang unggul daripada mereka yang memiliki tingkat kepercayaan rendah.

Secara keseluruhan, organisasi dengan kepercayaan tinggi mengungguli organisasi lain dalam mencapai tujuan bisnis, menawarkan layanan pelanggan yang sangat baik, dan mempertahankan karyawan. Mereka juga telah meningkatkan posisi pasar yang kompetitif (Kimmel, 2015).

Hitch (2015) menyampaikan bahwa Fred Kiel, salah satu pendiri KRW International dan penulis Return on Character (Harvard Business Press, 2015), mempelajari 84 CEO selama tujuh tahun dan mengumpulkan data tentang penilaian karyawan terhadap perilaku dan kinerja perusahaan mereka. Dia menemukan bahwa Perusahaan yang dipimpin oleh CEO yang dianggap memiliki integritas tinggi mendapatkan jumlah ROI sebesar 9,4 persen selama beberapa tahun. Sementara di perusahaan dengan CEO yang dianggap memiliki integritas rendah memiliki hasil ROI hanya di angka 1,9 persen.

Selain itu, keterlibatan karyawan dalam organisasi dengan CEO berintegritas tinggi adalah 26% lebih tinggi (Bradberry, 2015). Studi lain juga menemukan bahwa nilai-nilai yang dinyatakan suatu organisasi seringkali menjadi tidak relevan saat persepsi karyawan tentang CEO dan pemimpin senior mereka tidak dapat dipercaya. Seringkali ditemukan tingkat kepercayaan dan integritas CEO dan pemimpin senior yang dapat dipercaya dan pertimbangan etis mereka dalam mengambil keputusanlah yang lebih penting.

Bahkan Hitch (2015) mengungkapkan, bahwa beberapa nilai yang diproklamirkan seperti yang ditemukan dalam pernyataan misi dan komunikasi organisasi lainnya dapat benar-benar menghambat integritas, terutama jika mereka bertentangan dengan persepsi CEO dan pemimpin senior yang dapat dipercaya (Simons, 2008).

Mengingat penelitian ini mendokumentasikan Return of Investment dalam penanaman dan penjagaan integritas dan efek negatif dari kurangnya integritas pada organisasi, maka Hitch (2015) mengungkapkan bahwa sangat masuk akal bila akhirnya bagian SDM dan manajemen profesional menjadikan perilaku etis dan penjagaan integritas sebagai prioritas dalam organisasi mereka.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara membentuk integritas para pegawai dan pimpinan hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

menjadi pemimpin yang bernilai dan dicintai, act consulting

Menjadi Pemimpin yang Bernilai Tinggi dan Dicintai

By Article No Comments

Di era industri 4.0 saat ini, semua orang bisa belajar dari mana saja. Karyawan tidak lagi banyak membutuhkan arahan, bahkan cenderung menghindar bila didikte mengenai pekerjaannya. Para millenials pun mencari tempat pekerjaan yang nyaman.

Penelitian menunjukkan bahwa millenials bahkan mampu bertahan dan bersedia dibayar lebih rendah bila menemukan tempat dan pemimpin yang membuat mereka nyaman dan berkembang. Bila pemimpin bisa menciptakan atmosfir bekerja yang seperti ini, tentu hal ini akan menjadi sebuah keuntungan kompetitif bagi perusahaan. 

Salah satu contoh yang dapat kita lihat dari Pemimpin tanah air ada pada diri pendiri Gojek, yang menciptakan aturan; Zero Ego, yang berarti siapapun di perusahaan, termasuk para pemimpin, harus menolkan ego mereka.

Bisakah Anda menjadi seperti itu? Karena dengan men-zero-kan ego masing-masing, semua orang dapat mengeluarkan potensi terbaik mereka. Dengan men-zero-kan ego pun, semua orang akan mampu mengalah dan bersatu untuk menghasilkan solusi terbaik bagi kelangsungan bisnis. 

Di ESQ kami sejak tahun 1999 telah mengenal hal ini sebagai Zero Mind Process. Suatu tempat bekerja terdiri dari orang dengan motivasi yang berbeda-beda. Sebuah perusahaan adalah gabungan dari banyak kepala dengan isi otak yang berbeda-beda. 

Pemimpinlah yang harus mampu menyatukan banyak orang yang semuanya berbeda tersebut, dalam satu tujuan yang sama. Semakin rumit orchestra pekerjaan yang harus disatukan dalam sebuah aransemen rencana perkembangan bisnis dari suatu perusahaan, semakin tinggi nilai seorang pemimpin.

Semakin kompleks kesulitan yang harus dihadapi para pimpinan untuk mewujudkan tujuan-tujuan finansial perusahaan yang makin meningkat, semakin besar profit yang dapat dicapai. 

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara membentuk karakter zero ego kepada para pegawai dan pimpinan hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

apakah strategi bisnis telah dijalankan dengan tepat, act consulting

Apakah Strategi Bisnis telah Dijalankan dengan Tepat?

By Article No Comments
Image may contain: text
  • Apakah usaha Anda tengah mengalami kegamangan dalam memasuki era persaingan baru?
  • Anda membutuhkan metode yang tepat untuk menentukan langkah bisnis ke depannya?
  • Atau korporasi Anda membutuhkan strategi baru karena proses bisnis Anda tidak lagi dapat menjawab tantangan pasar? 
  • Perusahaan Anda butuh metode penyusunan rencana strategi yang lebih mudah dipelajari dan terbukti berhasil? 

Saatnya untuk belajar dari 30 tahun pengalaman ahli strategi korporasi tingkat dunia yang terbukti telah berhasil masuk dalam jajaran 500 perusahaan terbaik dunia dalam Fortune 500 companies. Hanya dalam waktu singkat, peserta akan memahami berbagai organ taktikal yang dibutuhkan untuk bisa menyusun strategi korporasi hingga 10 tahun ke depan. 

Para peserta akan mempelajari cara menyusun roadmap, menentukan DNA bisnis, merancang blueprint, melakukan bisnis forensik, dan strategi kepemimpinan dengan metode yang mudah dikuasai dan terbukti efektif dan berhasil memenangkan persaingan. 

Jadilah Corporate Strategic Specialist bersama ACT Consulting. Bersama kita akan membedah kesulitan yang ditemui dalam bisnis anda, dan menyusun formula dan menetapkan langkah-langkah solusi terbaik dalam menyusun strategi korporasi bersama para ahli yang terbukti telah membawa banyak perusahaan di Indonesia dan Malaysia memperoleh momen emasnya. 

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara menyusun strategi korporasi dan lembaga hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

corporate strategy specialist, act consulting

Mengapa Perlu Legitimasi untuk Keahlian Strategi Anda?

By Article No Comments

Sudah menjadi keharusan untuk Anda yang bekerja di BUMN dan Perseroan Terbatas (PT) untuk melakukan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang baik). Untuk itu selain memerlukan kepatuhan terhadap aturan dan etika bisnis, salah satu hal yang diperhitungkan adalah pengakuan kemampuan kepemimpinan strategik di perusahaan untuk menjamin semua pengambilan keputusan dan arahan kebijakan dapat dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab pada semua stake holder.

Menjadi nahkoda dan memimpin perusahaan yang besar dengan ratusan hingga ribuan atau bahkan puluhan ribu karyawan yang menggantungkan nasib pada kepemimpinan Anda, menjadikan setiap keputusan yang Anda buat haruslah terukur dan berasal dari metode kalkulasi yang diakui keabsahannya oleh berbagai universitas ternama di dunia.

Dalam Corporate Strategic Program, Anda akan mendapatkan berbagai kemampuan taktikal yang dibutuhkan, dalam waktu singkat. Belum lagi, Anda akan mendapatkan Sertifikasi Nasional dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagai bukti yang legitimate atas pengakuan negara terhadap keahlian strategi yang Anda miliki.

========================================
Program Sertifikasi Corporate Strategic Specialist
========================================
Tanggal: 20-22 Februari 2019
Lokasi: Menara 165 Cilandak Jakarta Selatan
.
Hubungi kami via email :
info@actconsulting.co
.
Kirim wa/ telepon ke :
0821-2356-7237 (Aziz)
.
Atau daftar di link ini :
bit.ly/DAFTARCSS

Meningkatnya Konteks untuk Inovasi Sosial di Bidang Industri dan Mengapa Perlu Grand Why, act consulting

Meningkatnya Konteks Inovasi dan Mengapa Perlu Grand Why

By Article No Comments
industri perlu memastikan alam terus indah dan terjaga

Banyak penggerak inovasi kelas dunia, menjadi besar karena mereka berhasil menemukan problem untuk dipecahkan. Mereka menemukan konteks yang tepat untuk berkiprah, dan menggunakan teknologi secara apik untuk memberikan solusi yang dibutuhkan publik. Lalu tiba-tiba dalam hitungan sejumlah tahun, sebuah perusahaan menjadi sangat besar dan menjadi pemain bisnis kelas dunia.

Namun kita belum banyak melihat, inovasi tersebut dilakukan oleh pemilik industri yang bergerak di sektor manufaktur. Padahal, beragam isu dapat dikembangkan menjadi konteks inovasi yang berskala besar dan dapat menghasilkan keuntungan dan sustainabilitas perusahaan untuk waktu yang lama ke depannya.

Beragam isu ada di sekitar kita seperti perubahan iklim karena polusi, menyebarnya epidemi penyakit kronis, dan menyebarnya kesenjangan sosial yang makin parah. Beragam isu ini menunggu agar semua bagian di masyarakat, terutama dari dunia industri, untuk melakukan beragam inovasi sosial untuk dapat membantu menyelesaikan sejumlah masalah besar yang terjadi secara massif ini.

Bagi pemerintahan, jumlah biaya untuk menangani tiap isu ini dapat memakan anggaran untuk sektor public, padahal masih ada anggaran yang harus dialokasikan secara tetap seperti dana untuk bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan biaya kesehatan masyarakat yang jumlahnya terus meningkat.

Bila tidak ada kebijakan yang dapat dilakukan secara radikal untuk menangani penyakit kronis, biaya untuk kesehatan masyarakat terus meningkat dari 9% hingga 12,5% dari seluruh anggaran belanja daerah dan belanja negara di Inggris selama 15 tahun terakhir. Bahkan di Amerika Serikat, biaya ini meningkat dari 16% di tahun 2007 menjadi 25% di 2025, dan bisa meningkat hingga 37% di 2050 (Robin Murray, Julie Caulier-Grice, dan Geoff Mulgan dalam The Open Book of Social Innovation, 2012). Maka bila pihak swasta dan industri tidak bergerak dan tidak melakukan inovasi, maka apa yang akan terjadi pada masyarakat dunia?

Bagaimana iklim berubah secara dahsyat dan menghasilkan resiko bencana dalam skala massif, bagaimana polusi menjadi tak terkendali, bagaimana beraneka sampah makin menyesakkan di negara-negara berkembang dan di lautan pasifik, bagaimana kejahatan kriminal terus meningkat, bagaimana sumbatan kemacetan tak bisa diurai di banyak tempat, kesemua masalah ini membutuhkan semua solusi sebanyak-banyaknya inovasi yang dapat dihasilkan, terutama dari sektor industri.

Hal ini karena, banyak pihak menganggap bahwa sektor industri lah yang selama ini menjadi pangkal masalah. Karena itu, di era inovasi sosial ini, sektor industri pun haruslah memiliki inovasi sosial yang kental, yang lebih dari sekedar gerakan corporate social responsibility semata, tapi lebih ke penciptaan beragam produk yang dapat menghilangkan dan mengurangi masalah dunia tersebut.

Bagaimana dengan industri Anda, apakah inovasi tengah dilakukan dan dihasilkan telah dapat berkontribusi pada permasalahan sosial ini? dan bagaimana perusahaan anda yang bergerak di bidang industri mulai kini bisa mampu mengambil tanggung jawab untuk menihilkan masalah yang dulu pernah dihasilkan oleh industri dahulu di masa lalu?

Sebaik apapun kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara, bila para penggerak industri masih belum bergerak mengambil peran dan berpartisipasi untuk mengurangi bahaya lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah produk anda misalnya, atau polusi yang dihasilkan oleh kendaraan yang anda produksi, atau masalah eksploitasi lingkungan yang dilakukan oleh industri anda yang mengubah ekosistem secara drastis.

Bila dahulu inovasi di optimalkan untuk menghasilkan keuntungan. Kini saatnya untuk memutar haluan. Gerakkan motor inovasi Anda untuk mulai menyajikan beragam solusi untuk masyarakat. Bila anda dapat melakukannya, maka produk Anda akan mendapatkan rekognisi tak hanya berskala nasional, tapi bisa dikenal oleh masyarakat global. Karena public yang menghargai usaha anda akan dengan sendirinya membantu branding dan marketing produk anda secara tidak langsung, karena merasakan manfaat jangka panjang dari produk dan perusahaan Anda secara luas untuk masa depan.

Mari berinovasi, dengan memulai dari Grand Why ini. Dari kesadaran yang besar untuk melakukan perubahan dan menjadikan bumi sebagai tempat yang lebih baik untuk generasi yang jauh ke depan.

transformational leadership program, act consulting, ary ginanjar agustian

Urgensi Transformational Leadership di Semua Organisasi

By Article No Comments

Bagaimana pendapat para ahli dan akademisi mengenai model kepemimpinan apa yang paling menguntungkan bagi korporasi dan organisasi? Dari sejumlah jurnal ditemukan kesimpulan dari sejumlah ahli dari riset yang mereka lakukan bahwa Transformational Leadership menghasilkan efek yang lebih hebat dibanding kepemimpinan transaksional (Avolio & Bass, 2004; Dvir et al, 2002; Erkutlu, 2008; Northouse, 2007; Waldman et al, 2001). Hal ini disampaikan oleh  Sadeghi dan Pihie (2012) dari University Putra Malaysia dalam International Journal of Business and Social Science.

Sadeghi dan Pihie (2012) menyampaikan bahwa walaupun kepemimpinan transaksional menghasilkan hasil yang diharapkan, namun Transformational Leadership menghasilkan performa yang jauh diatas melebihi harapan dan membawa organisasi pada banyak kemenangan di berbagai sektor (Avolio & Bass, 2004; Erkutlu, 2008; Limsila & Ogunlana, 2008). Mereka juga menyampaikan bahwa pemimpin yang menampilkan perilaku kepemimpinan transformasional dapat memimpin organisasi mereka untuk lebih efektif dan lebih produktif.

Transformational Leadership juga mampu memimpin karyawan untuk memberikan upaya ekstra, dan meningkatkan kepuasan kerja. Karyawan akan terdorong untuk memperbaiki performa kerja mereka hingga melebihi ekspektasi, dan mampu memanen hasil dari kreativitas dan inovasi yang mereka lakukan dalam organisasi, sebagai hasil dari transformational leadership (Zaidatol Akmaliah et al, 2011).

Lebih dari itu, Transformational Leadership  model juga berpengaruh terhadap efektivitas dan performa para pemimpin (Hur et al, 2011; Burke et al, 2006; Judge & Piccolo, 2004). Hasil yang diperoleh dari berbagai langkah dalam model Transformational Leadership ini memberikan hasil yang lebih hebat dibanding dengan melakukan langkah kepemimpinan transaksional.

Erkutlu (2008) juga menemukan bahwa dimensi Transformational Leadership berkorelasi secara positif dengan efektivitas kepemimpinan sementara model kepemimpinan laissez-faire menunjukkan korelasi negatif.

Selain itu, Givens (2008) dari Jurnal Emerging Leadership Journeys, Vol. 1 Iss. 1, 2008, pp. 4-24, dikutip bahwa sejumlah riset menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berdampak pada kepuasan karyawan (Hatter & Bass; Koh, Steers, & Terborg, 1995) dan komitmen pada organisasi (Barling et al., 1996; Koh et al.). Riset juga menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh pada komitmen karyawan dalam beraneka program transformasi yang berjalan di perusahaan (Yu, Leithwood, & Jantzi, 2002) dan kondisi organisasi (Lam, Wei, Pan, & Chan, 2002). Karena banyaknya pengaruh yang dihasilkan dari model kepemimpinan transformasional inilah, Tucker & Russel (2004) dalam Givens (2008) menyatakan bahwa model kepemimpinan ini dibutuhkan di semua organisasi.

apakah anda bahagia dengan materi, financial effectiveness, act consulting, rich mind training, billionaire mindset

Aktualisasi Grand Why Maksimalkan Bahagiamu

By Article No Comments

Banyak orang merasa bahagia dengan yang sedikit. Sementara banyak yang memiliki banyak uang, namun tidak bahagia. Ternyata jawabannya ada pada Grand Why. Mengapa bisa begini? Ternyata ini dijelaskan dalam ilmu psikologi lho. Ternyata ditemukan oleh Kasser & Ryan (1993) bahwa orang yang menempatkan prinsip kuat mengenai uang dan makna kekayaan biasanya juga memiliki hubungan yang baik dengan pasangan, memiliki pertumbuhan karakter yang baik, dan murah hati di masyarakat dimana ia hidup. Ketiga hal yang mendatangkan kebahagiaan tersebut, berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan psikologis dasar, yang membuat orang lebih mudah meraih kebahagiaan.

Sementara, hal yang sebaliknya akan terjadi bila seseorang menempatkan prioritas hidup pada materi untuk mencapai aktualisasi diri atau menemukan Grand Why. Tujuannya adalah untuk mencapai popularitas dan imej diri, saat ia tidak dapat memenuhi ketiga kebutuhan psikologis dasar diatas. Padahal, materi hanya dapat memenuhi sedikit dari kebutuhan psikologis seseorang, dan bahkan akan membuat seseorang terdistraksi dari fokus hidup utamanya yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan untuk bahagia tersebut.

Sejumlah penelitian mendukung model ini secara keseluruhan, dengan menunjukkan korelasi bahwa semakin seseorang fokus pada tujuan finansial dan materialistic, maka akan semakin rendah tingkat kebahagiaan mereka. Banyak penelitian yang membenarkan hipotesa ini bahkan ditemukan dalam sejumlah hasil penelitian di negara yang sangat maju seperti di Amerika dan di Jerman (Kasser & Ryan 1996, Schmuck et al 2000). Namun hanya sedikit hasil penelitian yang berkorelasi dengan hal ini, di negara yang masih berkembang seperti Rusia dan India (e.g. Ryan et al 1999)..

Lebih jauh lagi, baik penelitian lintas ilmu (Ryan et al 1999) dan penelitian longitudinal (Sheldon & Kasser 1998), keduanya menghasilkan kesimpulan bahwa; Tujuan intrinsic meningkatkan kebahagiaan. Sementara tujuan ekstrinsik seperti uang, tidak meningkatkan kebahagiaan, atau bahkan cenderung mendatangkan hal yang tidak membahagiakan.

Sejumlah ahli menyampaikan berbagai fakta bahwa uang tidak relative dengan bahagia. Carver & Baird (1998) menemukan mereka yang menghubungkan antara uang dan kebahagiaan, telah mengalami kehilangan kemandirian yang berkaitan dengan tujuan hidupnya.

Bahkan, Ryff et al (1999) meneliti dampak dari kemiskinan terhadap kebahagiaan yang berasal dari aktualisasi diri. Ia menemukan bahwa status sosial ekonomi tinggi ternyata hanya mendatangkan kebahagiaan saat seseorang telah memiliki penerimaan diri (self acceptance) yang baik. Serta bagaimana orang tersebut dalam mengetahui tujuan hidupnya, dapat menguasai berbagai elemen hidupnya dan mampu mengembangkan diri dan karakternya. Sementara, kekurang-kebahagiaan yang dirasakan oleh orang yang tidak kaya hanya terjadi saat ia melakukan proses pembandingan sosial (social comparison), dimana orang yang lebih miskin membandingkan dirinya secara tidak positif dengan orang lain, dan merasa bahwa ia tidak memiliki keahlian dan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai kekayaan.

See? Terlihat bahwa banyak pandangan yang salah tentang kekayaan. Kita tidak seharusnya memandang kekayaan sebagai suatu hal yang buruk. Bahkan kita harus memaksimalkan segenap potensi untuk dapat meraih aktualisasi dan menyibak tujuan besar mengapa kita diciptakan dan mengapa kita harus terus meraih cita-cita yang lebih tinggi. Dari penjelasan tentang kekayaan dan kebahagiaan diatas, kami harap, Anda dapat menemukan makna yang lebih mendalam tentang besarnya berkah yang anda miliki.