Skip to main content
Category

Article

nilai budaya korporasi, act consulting

Memastikan Sustainabilitas Melalui Peningkatan Nilai Budaya Korporasi

By Article No Comments

nilai budaya korporasi, act consulting

Rahasia apa yang ada dalam nilai budaya korporasi yang membuatnya menjadi sangat penting dan amat menentukan bagi performa perusahaan dan peningkatan profit? Dalam pencarian perusahaan besar dengan sejarah yang panjang mengenai pertumbuhan yang cepat dan dengan keuntungan yang besar – perusahaan yang secara konsisten menjadi perusahaan terbesar, paling menguntungkan dan paling dikagumi dalam bidang industrinya adalah seperti American Express, Anheuser Busch, CocaCola, Delta Airlines, Dupont, General Mills, IBM, Merck, dan Northwestern Mutual Life Insurance – kami menemukan bahwa mereka merupakan perusahaan yang selalu memiliki komitmen yang sangat kuat dalam jangka luas dari nilai perusahaan yang tinggi dan kemudian komitmen tersebut dipraktikkan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan.

Tahun demi tahun Northwestern Mutual adalah perusahaan yang menampilkan performa terbaik dan perusahaan yang paling dikagumi dalam bidang industri asuransi jiwa. Perusahaan selalu mengupayakan kualitas terbaik dalam setiap hal yang mereka lakukan. Dua buah nilai yang sangat berkaitan, kerja sama dan komunikasi, memiliki tempat spesial bagi mereka. Perusahaan memiliki komite antar departemen yang tujuan utamanya adalah untuk memastikan keefektifan komunikasi dan kerja sama di antara bagian berbeda dari organisasi.

Ketika Northwestern merekrut orang baru, yang paling penting untuk mereka bukan kepintaran, pendidikan atau pengalaman, tetapi “Apakah orang ini mampu bekerja efektif sebagai anggota tim?” Secara berkala perusahaan akan mengadakan survey secara rahasia kepada karyawan untuk mengevaluasi kemampuan teman kerja, bawahan, kelompok bekerja, dan bahkan supervisor mereka dalam berinteraksi dengan baik dengan yang lain dan berfungsi secara efektif sebagai anggota tim.

Berdasarkan hasil survey, mereka memformulasikan kebutuhan pelatihan untuk setiap orang dan mengadakan program pelatihan melalui keahlian antarpersonal dan komunikasi. Northwestern percaya bahwa komitmennya terhadap nilai tersebut tidak hanya membuat orang merasa bahwa perusahaan tersebut adalah tempat yang baik untuk bekerja, namun hal ini juga mampu menjelaskan mengapa Northwestern mampu menjadi yang terbaik dalam industri ini setiap tahun dalam ukuran performa dan produktifitas.

 

Peningkatan Nilai-nilai Budaya Korporasi

Pikirkan peringkat yang telah Anda berikan kepada nilai perusahaan Anda pada latihan di bab terakhir. Nilai­nilai mana yang bisa diperkuat untuk mempercepat pertumbuhan perusahaan? Nortwestern Mutual adalah perusahaan yang sudah berumur 100 tahun. Tetapi tidak harus membutuhkan waktu satu abad untuk meningkatkan nilai dari perusahaan Anda hingga mencapai level yang dicapai Northwestern. Sangatlah mungkin bagi perusahaan mana pun untuk meningkatkan secara dramatis mengenai penerapan nilai dengan mengikuti proses sistematis. Membuat nilai menjadi permanen bukanlah tugas mudah, begitu juga tidak akan ada sebuah pekerjaan yang selesai hanya dengan kerja keras atau pernyataan secara konstan saja. Nilai akan menjadi permanen ketika mereka menjadi bagian hakiki yang utuh dalam seluruh operasi yang perusahaan lakukan. Proses dalam penerapan nilai dalam budaya organisasi membutuhkan lima langkah esensial: komitmen, standar, struktur, sistem, dan kemampuan.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

 

nilai budaya perusahaan, peningkatan profit, act consulting, corporate culture specialist

Pertumbuhan Profit Melalui Peningkatan Nilai Budaya Perusahaan

By Article No Comments

Setiap perusahaan menginginkan pertumbuhan profit. Namun banyak perusahaan yang tidak menyadari bahwa cara untuk melakukannya adalah dengan melakukan peningkatan nilai budaya perusahaan. Contoh kasus yang cukup terkenal berasal dari sebuah kisah nyata dari sebuah perusahaan besar di Amerika Serikat, Linear Technology.

Linear Technology adalah salah satu dari perusahaan yang berkembang cepat yang kami pelajari, dimana proses penanaman nilai dalam perusahaan sudah sangat maju. Linear memiliki beberapa buah nilai yang tidak hanya dipercaya, tetapi juga bekerja dengan baik dan sistematis untuk mengimplementasikannya. Kualitas produk, kualitas pelayanan, kepercayaan, dan ketepatan waktu (dalam pengantaran barang) menduduki peringkat tertinggi. “Bahkan dalam memulai perusahaan baru,”

Pendiri sekaligus Presiden, Robert Swanson menjelaskan,”kami sudah memahami tentang kualitas dan kepercayaan. Kami memulai dengan sedikit idealis, yaitu memberikan produk terbaik, kualitas terbaik, kepercayaan terbaik, dan ketepatan waktu pengantaran. Sejak awal hingga saat ini kami sudah dan masih melakukannya. Kami menciptakan gambaran kualitas dan kepercayaan sebagai sebuah kenyataan”.

Perusahaan telah mengembangkan standar pengukuran spesifik untuk kualitas produk dan waktu respons pelayanan, berikut dengan tujuan tahunan untuk meningkatkan standar tersebut. Selain itu, perusahaan juga membuat struktur yang tidak biasa untuk mengawasi dan meningkatkan performa dari nilai­nilai tersebut. Terdapat sebuah departemen yang dikepalai oleh wakil presiden yang bertanggung jawab untuk kualitas produk dan layanan pelanggan, serta menjamin bahwa kedua nilai tersebut terdapat dalam semua departemen yang ada.

Pada tahap awal, perusahaan meletakkan sistem penjamin kualitas yang didesain khusus untuk memenuhi pelanggan besar yang memiliki persyaratan tinggi seperti Ford. Sistem tersebut sangat baik hingga membuat Linear menjadi perusahaan pertama yang produk kategorinya mendapatkan sertifikasi dari kemiliteran AS dalam inspeksinya pertama kali. Program penjamin kualitas merupakan sebuah sistem penyokong sendiri yang terdokumentasi penuh dimana biasa terlihat pada perusahaan yang berukuran sepuluh sampai seratus kali lebih besar. Linear mengetes seluruh

produknya bukan untuk memastikan bahwa mereka memiliki memenuhi spesifikasi produk, tetapi  untuk menentukan apakah mereka akan bergerak di bidang yang lebih luas dalam aplikasi yang berbeda sesuai dengan pelanggan yang akan mencoba menggunakan jasa mereka. Program kualitas bekerja  dengan baik, karena dipahami dan didukung oleh setiap departemen dalam perusahaan. “Semua orang di sini merupakan bagian dari program QA (Quality Assurance – Jaminan Mutu)”, jelas Paul Chantalat, manajer QA.

Perusahaan sangat mengkhususkan pada ketepatan waktu pengantaran barang. Waktu normal untuk produksi dari chip analog buatan mereka adalah 14 minggu. Untuk menghemat waktu, mereka telah mengembangkan strategi pengaturan inventori. Perusahaan merakit chip dalam beberapa tahap penyelesaian dimana mereka bisa menunggu konversinya menjadi macam­macam jenis produk akhir.

Salah satu waktu respons utama ini terletak pada waktu yang diperlukan untuk menguji contoh produk dan mendapatkan persetujuan dari pelanggan, dimana pada beberapa kasus hal ini bisa berlangsung selama satu atau dua tahun. Dengan memperkenalkan sistem yang baik dalam mengumpulkan data dan mengawasi performa tes dari chip mereka, mereka mampu menyediakan informasi pengujian utama kepada konsumen mereka bersamaan dengan contoh barangnya. Sistem ini mampu mengurangi waktu kualifikasi produk sebesar 50% kepada Linear.

Kebanyakan perusahaan yang tumbuh dengan cepat masih dalam proses mendapatkan nilai perusahaan yang jelas bagi perusahaan dan menerapkannya dalam setiap aktivitas. Kesuksesan mereka dalam membawa nilai­nilai tersebut dan membuatnya nyata dalam operasi harian akan menjadi penentu penting dalam seberapa cepat dan seberapa jauh mereka akan berkembang di masa depan.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

transisi budaya perusahaan, act consulting, corporate culture specialist

Transisi Budaya Perusahaan Menuju Pertumbuhan Yang Cepat

By Article No Comments

transisi budaya perusahaan, act consulting, corporate culture specialist

Bagaimana memulai transisi budaya perusahaan? Setiap perusahaan menginginkan pertumbuhan yang cepat. Hubungan antara nilai dan pertumbuhan perusahaan bisa dilihat di semua ukuran perusahaan dan tahapan perkembangannya. Setiap kali sebuah perusahaan membuat sebuah transisi menuju level yang lebih tinggi dalam hal ukuran, skala atau kompleksitas bisnis, mereka harus dengan signifikan meningkatkan penerapan nilai yang ada demi menjaga performa yang tinggi. Sukses dalam skala yang lebih besar dan level yang lebih tinggi pada dunia bisnis berkaitan langsung dan proporsional kepada level dan intensitas dari penerapan nilai yang berlaku.

Perusahaan yang paling cepat tumbuh adalah perusahaan yang sedang mengalami proses transisi. Mereka mampu tumbuh melampaui batas yang bisa didapat dari energi   fisik dan kerja. Mereka  telah menemukan atau setidaknya mulai mengetahui, meski terkadang hampir terlambat, akan pentingnya nilai perusahaan, yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas energi untuk meneruskan performa tinggi.

Komitmen personal dari pendiri perusahaan atau CEO mungkin cukup untuk memastikan performa tinggi pada nilai perusahaan, di awal­awal perkembangan bisnis skala kecil; tetapi setelah perusahaan tumbuh, contoh dan pelaksanaan secara personal tidak akan cukup. Hal itulah yang Paul Maestri temukan setelah dia membawa perusahaannya dikenal di akhir tahun 1986.

P.A.M. adalah sebuah perusahaan yang melewati proses tahapan entrepreneurial dengan sangat cepat hingga sulit untuk menandakan titik transisinya, berkembang dari 5 juta dolar menjadi 75,8 juta dolar hanya dalam waktu delapan tahun. Sebelumnya, pemilik perusahaan, Paul Maestri dan Bob Weaver, harus mengelola perusahaan tersebut sendiri.

Mereka terlibat secara langsung  dengan pelanggan dan menangani semua keluhan. Mereka menjaga hubungannya dengan para pelaku bisnisnya dan selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi tentang kemungkinan masalah yang bisa terjadi. Pelanggan sangat puas. Moral karyawan juga sangat baik.

Setelah perusahaan tersebut terkenal, Weaver pensiun dan Maestri memutuskan untuk menyerahkan manajemen perusahaan kepada sekelompok eksekutif berpengalaman. Dia membawa tim yang berpengalaman, manajer senior dari salah satu perusahaan pesaingnya dan memberikan kebebasan penuh untuk mengatur operasional harian. Kemudian datanglah “masa paling sengsara, masa paling sulit” dalam kehidupan Maestri.

Tim manajemen yang baru memberikan tekanan yang sangat besar ke dalam seluruh organisasi perusahaan untuk meningkatkan volume penjualan dan memperluas daerah penjualan. Mereka mengubah fokus dari kualitas menjadi kuantitas, lebih banyak menjual produk dibandingkan pelayanan. Mereka menjaga jarak dengan pelaku bisnisnya dan memberikan sikap “saya tidak kenal Anda”. Dalam enam bulan tingkat rata­rata kegagalan servis mereka meningkat, dan konsumen pun memberikan banyak komplain. Karyawan mengancam untuk mogok. Pergantian karyawan pun meningkat. Secara mendadak keuntungan menurun.

Demi perkembangan yang cepat, perusahaan telah melupakan nilai dasar yang menjadikan mereka sukses di masa lampau. Seperti yang Maestri katakan: “Kami menjauhi konsumen dan pelaku bisnis ini.” Untuk menyelamaykan dari situasi ini, Maestri mengganti seluruh jajaran tim manajemen senior dan kembali menangani perusahaannya. Dia juga mempekerjakan presidan baru, John Karlberg, yang memahami pentingnya SDM dan pelayanan.

Mereka bersama­sama mengambil langkah untuk memperbaiki dan membuat nilai SDM dan pelayanan sebagai sebuah kebiasaan, dan membawa kembali P.A.M. ke dalam jalur pertumbuhan. Mereka membawa tingkat rata­rata kegagalan servis menjadi di bawah 1%. Mereka juga memberikan pelatihan kepada para operator telepon dan mengajari untuk mendengarkan para pelaku bisnis dan mendengarkan kebutuhan mereka.

Melalui pelayanan, Karlberg mengatakan” Sekarang kami lebih menggunakan konsep kualitas untuk mengembangkan hubungan jangka panjang dengan para konsumen kami”.  “Konsumen rela membayar dengan harga yang lebih demi mendapatkan pelayanan sengan nilai yang tinggi”.

Melalui SDM, Maestri menjelaskan,” Kami telah kembali kepada nilai kami yang semula. Para pelaku bisnis tahu bahwa kami peduli. Kami memberikan mereka nilai yang sepadan. Mereka semua juga tahu bahwa mereka bisa datang kepada saya kapan saja”.

Kondisi moral meningkat. Perusahaan juga siap untuk kembali tumbuh dengan cepat. Tujuan baru manajemen adalah pertumbuhan 30% per tahun hingga mereka memperoleh pendapatan 250 juta dollar.

Kesulitan yang dihadapi oleh P.A.M. dalam memelihara nilainya dimana mereka harus mengalami transisi dari sebuah perusahaan entrepreneurial menjadi perusahaan profesional merupakan hal yang biasa. Cara dalam menangani masalah tersebut sering kali sangat menentukan apakah mereka akan melakukan transisi atau tidak. Masalah P.A.M. adalah hasil langsung dari pertumbuhannya. Ketika perusahaan masih kecil, pemiliknya masih bisa memegang dan mempertahankan nilai yang dipercayai secara personal. Tetapi seperti layaknya

banyak pemilik perusahaan, mereka tidak pernah menciptakan pondasi institusional untuk menjamin bahwa nilai tersebut akan terus berlangsung meskipun tanpa kehadiran mereka. Oleh karena itu, Maestri harus kembali untuk kembali menanam nilai tersebut.

Manajemen sekarang sadar bahwa hal itu tidak akan cukup untuk membuat nilai tersebut permanen. “Kami harus mengartikulasikan kebiasaan perusahaan,” dijelaskan Karlberg. “Kami memiliki banyak cara untuk menemukan kebiasaan kami dan menggunakannya. Kami perlu mengartikulasikan misi kami, sehingga semua karyawan tahu bahwa kita ingin menjadi sempurna”. Kebiasaan dan kesempurnaan adalah tentang kualitas, dengan kata lain, nilai. Menanamkan nilai tersebut dan membuatnya permanen adalah sebuah kondisi esensial untuk pertumbuhan tanpa henti.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

meningkatkan nilai bekerja, act consulting, corporate culture

Meningkatkan Nilai Bekerja dan Akselerasi Budaya Perusahaan

By Article No Comments

meningkatkan nilai bekerja, act consulting, corporate culture

Terdapat hubungan langsung antara perkembangan sebuah perusahaan dengan upaya meningkatkan nilai bekerja dan upaya akselerasi budaya perusahaan. Kerja keras adalah fondasi bisnis. Sebuah bisnis lokal kecil, seperti mesin penjual atau toko retail yang diatur dan dioperasikan oleh pemiliknya sendiri, mampu mempertahankan keberadaannya dan berkembang dengan baik berdasarkan dari energy fisik dan usaha si pemilik, dengan kata lain, kerja keras.

Tetapi ketika sebuah bisnis mulai berkembang menjadi lebih besar, hanya dengan mengandalkan energy fisik dan usaha saja tidak akan cukup. Untuk memperbesar skala usahanya, perusahaan juga memahami bahwa mereka harus meningkatkan kualitas. Mereka harus menyediakan produk atau layanan yang cukup baik untuk menarik lebih banyak pelanggan.  Mereka juga harus lebih cepat dalam menyediakan produknya atau dalam melayani pelanggannya dibandingkan dengan para pesaing mereka.

Perusahaan harus mampu menarik dan mempertahankan karyawan yang baik, yang berarti membuat pekerjaan mereka menjadi lebih menyenangkan  dan memberikan kepuasan serta memberikan mereka kesempatan untuk berkembang.

Setelah perusahaan menjadi lebih besar dan lebih rumit, pekerjaan harus lebih terkoordinasi dengan baik untuk menghindari kekacauan dan terjadinya pekerjaan yang sama. Mereka harus belajar untuk bekerja sama dengan baik dalam tim. Untuk perkembangan perusahaan secara maksimal sangat dibutuhkan upaya perkembangan dari nilai perusahaan untuk meningkatkan nilai bekerja dari para karyawan di perusahaan. Nilai bekerja tersebut ada dalam bentuk seperti kualitas, layanan, ketepatan waktu, kepuasan karyawan, koordinasi, dan kerja sama. Dengan kata lain, nilai menggerakkan perkembangan.

Coba Anda ambil contoh sebuah perusahaan kemudian hilangkan atau tambahkan sebuah nilai, dan lihat bagaimana perkembangannya. Hal inilah yang terjadi kepada perusahaan milik Robert Ross, Ross Incineration Service, setelah tiga puluh tahun dia mendirikan perusahaan ini, anaknya membelinya dan kemudian menambahkan sebuah nilai ke dalamnya.

Ross senior memiliki fisik yang besar dan orang yang sangat kuat, dengan memiliki banyak energi, orang yang sangat hebat layaknya banyak pengusaha lain, yang mampu bekerja keras dan berusaha tanpa kenal lelah. Ketika dia membangun tempat penanganan sampah dan limbah pertamanya di Grafton, Ohio pada akhir tahun 1950, publik masih memiliki kesadaran yang rendah akan bahaya dan konsekuensi dari pencemaran lingkungan. Sehingga pada saat itu usahanya hanya memiliki permintaan yang kecil.

Membutuhkan hampir tiga puluh tahun bagi perusahaan ini untuk memperoleh pendapatan sebesar satu juta dolar. Ketika lingkungan mulai menjadi isu utama pada akhir tahun 1960-an sampai 1970-an, Ross gembira karena bisnis perusahaannya mulai berkembang. Tetapi ketika Pemerintah Amerika mulai memberikan aturan yang ketat tentang sampah dan limbah industri berbahaya, Ross merasa tidak berdaya dengan banyaknya undang­undang baru, dan kesal dengan rumitnya prosedur birokrasi, yang diberlakukan dalam undangundang.

Ketika itu, anak lelakinya, Gary Ross, dan anak perempuannya, Maureen Cromling, menjadi sangat aktif dalam menjalani bisnis ini. Tidak seperti ayahnya, mereka mampu menerima perubahan ini dan mampu menghargai pentingnya peraturan baru tersebut dan menyadari adanya kesempatan yang besar bagi perusahaan. Hal ini mendorong mereka untuk membuat dua keputusan yang sangat penting. Pertama, mereka membeli perusahaan tersebut dari ayah mereka. Kedua, mereka menjadikan kepatuhan lingkungan sebagai nilai tertinggi dan prioritas bagi perusahaan.

Di saat banyak pelaku bisnis yang sama dan para penghasil limbah berbahaya menggunakan banyak cara untuk mengakali peraturan atau untuk meminimalisir dampaknya, mereka memutuskan untuk memenuhi setiap peraturan baru dan bahkan melebihi dari apa yang ditentukan oleh hukum yang ada, yang pastinya juga diperuntukkan untuk keselamatan publik. Dengan melakukan hal tersebut, mereka telah menaikkan level kebutuhan yang ideal.

Usaha tersebut sangat membutuhkan banyak tenaga dan tidak murah. Ini memerlukan investasi besar untuk meningkatkan standar bangunan fisik mereka. Hal ini juga membutuhkan sebuah revisi total dalam sistem penanganan air, pelatihan karyawan, pelacakan pengiriman barang, dokumentasi dan penyimpanan data.

Pada awalnya, baik karyawan ataupun pelanggan mereka tidak ada yang mengerti pentingnya perubahan radikal tersebut. Mereka mengeluhkan banyaknya dokumentasi yang diperlukan. Akan tetapi, seiring dengan banyaknya kasus para penghasil limbah dan penangan limbah yang bandel dan tidak bertanggung jawab di seluruh negeri, anggota kongres mendorong untuk adanya regulasi yang lebih berat dan juga Agensi Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency)  yang menuntut penyelenggaraan industri yang lebih ketat. Para penghasil limbah dianggap bertanggung jawab apabila melanggar hukum dalam pembuangan limbah masing­masing.

Ross sudah sangat siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Perusahaan kimia besar merasa bahwa Ross adalah perusahaan yang baik dan terpercaya serta mampu menangani limbah mereka sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Fasilitas penanganan sampah dan limbah milik Ross adalah fasilitas yang pertama kali disetujui di AS berdasarkan prosedur perizinan tepat Agensi Perlindungan Lingkungan. Ross adalah satu­satunya fasilitas di Amerika yang tidak diawasi secara penuh oleh petugas. Dalam lima tahun pertama setelah mereka membeli perusahaan ini dari ayah mereka, perusahaan tersebut memperoleh pendapatan delapan kali lipat.

Dengan berfokus pada penerapan nilai psikologis, Ross mampu untuk meningkatkan level dari pekerjaannya dan level pelayanannya kepada para pelanggan. Mereka tidak lagi hanya menyediakan mekanisme penanganan sampah dan limbah secara fisik, tetapi juga memberikan keamanan secara hukum dan psikologis kepada para pelanggannya, sehingga mereka tahu bahwa sampah dan limbah mereka berada di tangan yang tepat.

Upaya meningkatkan nilai bekerja tersebut meningkatkan kuantitas energy (volume pekerjaan) dan juga kualitas energy (dari fisik hingga mental) di perusahaan. Kepatuhan kepada nilai membuat Ross berhasil dalam lingkungan dengan peraturan yang baru.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

transformasi budaya organisasi, act consulting

Transformasi Budaya Organisasi : Jarak Antara Teori dan Kenyataan

By Article No Comments

transformasi budaya organisasi, act consulting

Apa dan bagaimana cara melakukan Transformasi Budaya Organisasi? ‘Transformasi’ telah menjadi sebuah kata yang umum dalam industri organisasi. Mulai dari buku “Who Moved My Cheese” sampai ke seminar penerimaan perubahan, terdapat banyak sekali sumber yang memperkenalkan dan menawarkan teknik bantuan diri dan manajemen yang mendorong transformasi personal dan organisasi.

Pada teori di atas kertas, transformasi adalah sebuah konsep pertimbangan dengan perubahan diagram, keberagaman program, dan latihan pembentukan tim. Pada kenyataannya, di dalam organisasi terdapat kebiasaan­kebiasaan lama yang sangat alot layaknya karet, yang membuat ide­-ide baru dan inovatif sulit untuk dijalankan.

Transformasi, seperti layaknya minyak pada air, bisa dengan nyaman berada di permukaan sebuah organisasi, tidak bisa masuk ke dalam serat kain dan mampu membuat sebuah kebiasaan baru. Transformasi adalah sebuah tindakan besar yang membutuhkan harga mahal. Tetapi ketika hal tersebut dipraktekkan, terdapat ganjaran yang melebihi usaha menyakitkan yang sudah ditempuh. Sebelum mentransformasi budaya, sangatlah penting untuk memahami arti dari ‘budaya’ dan ‘organisasi’ itu sendiri.

Budaya organisasi mengungkapkan nilai, paham dan tingkah laku yang dimiliki oleh seluruh anggota organisasi (Kennedy). Sebuah organisasi adalah entitas sosial yang memiliki tujuan terarah, dengan sistem aktivitas yang terstruktur secara sadar, serta sebuah batasan yang secara relatif bisa dikenali. E. H. Schein, seorang teoritikus terkenal dalam budaya organisasi, mendefinisikan ‘budaya organisasi’ sebagai sebuah pola dari asumsi dasar yang dimiliki sebuah grup untuk mempelajari cara memecahkan masalah. Solusi tersebut akan cukup berhasil dianggap valid dan untuk itu, harus diajarkan kepada anggota baru dari organisasi tersebut

sebagai cara yang tepat dalam mengetahui, berpikir dan merasakan kaitan masalah­masalah tersebut. Dengan              mengkombinasikan definisi-definisi ini terlihat   jelas bahwa kebiasaan organisasi memberikan penafsiran atas kepercayaan dasar dan menjadi dasar setiap keputusan yang dibuat, penerimaan yang diakui, penolakan yang terjadi, dan kebenaran yang ditentukan. Setiap organisasi memiliki budayanya tersendiri yang unik.

Kebiasaan organisasi yang positif akan memperkuat kepercayaan dasar dan kebiasaan yang seorang pemimpin inginkan selagi melemahkan nilai dan tindakan yang tidak diinginkannya (Kaufman, 2002). Sebuah               kebiasaan negative akan menjadi racun   yang akan meracuni organisasi dan menghalangi perkembangan potensial organisasi di masa depan. Jelas terdapat hubungan yang tidak bisa dihindari antara budaya organisasi dan tingkat kesuksesan yang dimilikinya (Peter dan Waterman, 1982).

Budaya dari organisasi manapun diformulasikan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling jelas adalah sang ‘pemimpin’ dari organisasi, siapapun pemimpin tersebut, baik orang tua, CEO, pemimpin agama, atau kepala sekolah. Semua berawal dari kepala. Nilai seorang pemimpin organisasi akan terpancar pada kebiasaan dalam organisasi atau organisasinya.

Faktor kedua adalah pengaruh dari anggota organisasi, yaitu mereka yang berpartisipasi dalam misi organisasi. Anggota memberikan dampak penting dalam budaya organisasi. Menurut Kaufman, “Sebuah organisasi adalah sebaik­baik anggotanya”. Kedua faktor pertama ini mempengaruhi dari “dalam” dan dikategorikan sebagai faktor kebiasaan internal (Schein, 1992).

Terakhir, terdapat faktor­faktor eksternal. Budaya organisasi dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dari “luar”. Pengaruh ini berasal dari lingkungan. Misalnya, sistem industri dan pemerintahan dapat berdampak pada budaya internal sebuah organisasi. Meskipun dampak dari faktor eksternal tidak bisa dilihat atau dirasakan secara langsung, namun hal tersebut bisa menjadi kunci untuk memahami kebiasaan organisasi dan tidak bisa diabaikan.

Bayangkan ketika Anda melintasi hutan di Afrika dan kemudian tiba di sebuah suku pedalaman. Anda akan disambut dengan bahasa baru dan akan segera melihat sebuah pemahaman baru, serta kebiasaan baru. Tantangan Anda adalah untuk mengubah budaya dari suku tersebut. Dari manakah Anda akan memulai? Bagaimana Anda akan mengubah apa yang telah mereka anggap normal? Bagaimana Anda meyakinkan mereka bahwa perubahan adalah sesuatu yang baik dan dibutuhkan mereka?

Sesulit yang tergambarkan di atas, tugas untuk mengubah budaya sebuah organisasi sangatlah sulit. Budaya pada sebuah organisasi layaknya sungai. Bisa menjadi cair, kuat dan konsisten, seperti layaknya pelumas yang membimbing anggota organisasi kepada arah yang benar. Namun sebaliknya, sebuah sungai bisa menjadi membosankan dan membahayakan, diam­diam membunuh siapapun yang meminumnya di muara                (Kaufman 2002). Di luar dari keadaan sungai, sangatlah mustahil untuk membalikkan arah alirannya. Baik membahayakan ataupun tidak, mengubah budaya organisasi adalah sebuah tugas yang berat!

Dengan berkembangnya organisasi, kesuksesan dan kegagalan akan mampu diukur. Ketika terdeteksi sebuah disfungsi dan membutuhkan sebuah perubahan budaya, budaya tidak langsung menyesuaikan diri. Ketika budaya yang membahayakan muncul, maka dibutuhkan inspeksi secara besar­besaran.

Budaya organisasi akan mampu bertahan pada saat terjadi perubahan di seluruh organisasi. “Pemimpin meninggal, produk menjadi usang, pasar berubah, teknologi baru muncul, kebijakan manajemen muncul dan pergi, namun ideologi mendasar dalam perusahaan hebat akan bertahan sebagai sumber petunjuk dan inspirasi” (Collins dan Porras, 1998).

Transformasi sebuah perusahaan sering dianggap sebagai tanggung jawab dari sang pemimpin namun bawahanlah yang harus menerima tugas dan menjalankannya. Secara teori hal ini terlihat ideal. Pemimpin akan menciptakan visi yang baru atau berkembang. Sekiranya, seperti yang dikatakan dalam banyak pelatihan, bawahan akan menolak pada awalnya, namun dengan konsistensi, kekuatan dan teknik motivasi manipulatif, mereka pada akhirnya akan menyerah. Zap! Sebuah budaya baru terbentuk.

Namun pada kenyataannya hal ini telah terbukti salah. Sebagian besar ‘kepemimpinan transformasi’ memiliki hasil yang palsu dan hanya sementara, dimana hal ini hanya menjadi sebuah lapisan yang tipis di atas budaya baru yang dangkal, mengecewakan, dan semakin membahayakan.

Kesalahan terbesar yang dibuat oleh banyak pemimpin adalah mencoba untuk mengubah secara paksa cara berpikir semua yang ada dalam organisasi. Para manajer seringkali memaksakan, bukan memimpin, perubahan. Bagaimanapun, transformasi organisasi yang dibebankan kepada para pengikut terlebih dahulu akan ditolak dan ditentang oleh mereka. Pemimpin yang sukses akan membebankan perubahan kepada mereka terlebih dahulu lalu mengusahakannya kepada yang lain.

Pusat untuk Perubahan Terorganisasi (The Center for Organized Change) di San  Diego mengidentifikasikan beberapa kesulitan ketika menerapkan perubahan organisasi:

  1. Kurangnya integritas manajer. Kata­kata dan tindakan mereka tidak konsisten.
  2. Ekspektasi yang tidak realistik ditetapkan tanpa adanya sistem yang bisa mengukur kesuksesan atau kegagalan.
  3. Sistem yang tidak berubah.
  4. Para  manajer yang tidak sabar dengan proses yang berlangsung. Kebanyakan manajer menginginkan hasil cepat dan tidak berkomitmen untuk bersabar menunggu hasilnya.
  5. Manajemen  sering kali mencoba untuk memaksakan perubahan hanya melalui kata-kata dan paksaan.
  6. Usaha pelatihan pemimpin sebagai alat utama untuk transformasi.

 

Sekali lagi, catatan di atas menggambarkan kesulitan dan masalah dari transformasi dan kepatuhan bawahan yang dibebankan. Dalam kenyataannya, tidak ada seorangpun yang berubah! Para pemimpin membebani dan para bawahan ‘menyerah’. Ketika berusaha untuk menerapkan perubahan, beberapa pemimpin menganggap terdapat kesalahan dengan komitmen dan nilai yang dimiliki para bawahan. Hal ini adalah pemikiran yang salah pada sebagian besar model transformasi. Terdapat penekanan yang tidak sehat dalam menganalisis kesalahan orang lain, terutama orangorang yang berada di bawah pemimpin dalam hierarki organisasi dan jajarannya. Penekanan yang salah ini akan menghasilkan atau memberikan andil dalam budaya yang membahayakan di dalam organisasi.

Banyak manajer yang terdoktrin dengan paham bahwa manajer selalu benar dan bawahan selalu salah. Ini tidak hanya terlihat dalam organisasi bisnis, namun juga sekolah, organisasi gereja dan juga di rumah. Cara mendidik yang terbaik bisa dilihat pada ruang rapat, kelas, dan mimbar.

Teori transformasi populer melibatkan cara memperlakukan orang layaknya sebuah mesin yang harus diperbaiki. Mereka meletakkan tanggung jawab untuk perubahan sesungguhnya kepada para bawahan sementara sang pemimpin menghabiskan waktu memikirkan kembali sistem, menganalisis kerusakan, menghancurkan moral, dan memperbaharui visi. Konsep ini adalah salah dalam semua penekanannya, proses, dan hasil.

Transformasi yang baik berbentuk harmonis. Transformasi haruslah diolah dan dipelihara. Pemimpinlah yang menjadi contoh dalam proses transformasi. Apa pun yang kurang dari ini hanya akan menciptakan kebiasaan keluhan, bukan komitmen.

Peter Senge memberikan dampak yang sangat besar tentang cara kita melihat organisasi ketika dia memperkenalkan kita kepada paradigma baru, yang menciptakan organisasi yang dibangun berdasarkan konsep belajar. Pada sebuah wawancara dengan Fast Company dia mengatakan,”Mungkin memperlakukan perusahaan seperti mesin telah mencegah mereka untuk berubah, atau mengubah mereka menjadi jauh lebih sulit. Kita tetap menyewa mekanik meskipun sebenarnya yang kita butuhkan sebenarnya adalah tukang kebun. Kita tetap mencoba membawa perubahan, ketika yang dibutuhkan sebenarnya adalah mengolah perubahan” (Webber, 2002). Demi menjadi pemimpin yang mengolah perubahan, maka diperlukan penggalian dan penemuan.

Cara berpikir diri mengenai tukang kebun dikembangkan dalam lima ilmu Senge yang pertama (Senge,          1990).  Pemikiran Senge tersebut membuat para pemimpin untuk berintrospeksi, mempelajari kembali cara pemimpin berpikir mengenai budaya organisasi. Pemimpin dipanggil untuk membedakan dirinya sebagai penggagas ide dalam organisasi. Pemimpin liberal yang sejati, yaitu seseorang yang mengapresiasikan penyebab dari transformasi, akan lebih memilih untuk mengambil sekop taman dibanding pointer presentasi, atau seperti cermin melawan kaca pembesar. Pemimpin transformasional mengenakan jubah malu, dan akan memiliki cara berpikir seorang petani, bukan seorang mekanik. Senge mengatakan,” Pemimpin harus mendekati perubahan seolah­olah mereka sedang menanam sesuatu, bukan mengubah sesuatu”.

Transformasi sejati berasal dari dalam hati dan pikiran sang pemimpin. Sang pemimpin melihat organisasi sebagai sebuah taman dimana akan berkembang kehidupan. Melalui perkembangan personal, san pemimpin akan menjadi seseorang pembelajar sejati. Perubahan dimulai saat pembelajaran dan bukan pembelajaran dimulai. Senge mengakui,” Kebanyakan orang dalam organisasi selain seorang pemimpin tidak bisa membuat perubahan drastis; mereka akan mengeluh, bukan berkomitmen.” Organisasi bergantung pada transformasi dari pemimpinnya, bukan pada transformasi para bawahannya atau sistem.

Proses implementasi perubahan biasanya berangkat dari pemimpin ke kelompok kecil dan kemudian baru ke seluruh perusahaan. Bagaimanapun transformasi budaya organisasi hanya akan menjadi paparan teori dan akan menjadi kenyataan apabila pemimpin dari organisasi terus belajar dan mengembangkan diri sendiri. Pemimpin akan menjadi pemimpin yang belajar dan kemudian dia akan mengolah organisasi menjadi organisasi yang belajar. Dalam taman tersebut, transformasi tidak akan terhindari.

budaya perusahaan, performa tinggi, act consulting

Budaya Perusahaan  & Performa Kerja

By Article No Comments

budaya perusahaan, performa tinggi, act consulting

Budaya Perusahaan dengan performa tinggi memiliki enam karakteristik, yaitu beradaptasi dengan baik, bergerak dengan visi, bergerak dengan nilai, peduli terhadap para pemangku kepentingan, bekerja dengan ulet, dan memiliki sedikit entropi budaya.

  • Kemampuan adaptasi: Pada dunia yang berubah dengan sangat cepat, Anda hanya dapat bertahan dan berhasil jika dapat menyesuaikan diri dengan cepat dengan kondisi pasar. Organisasi yang adaptif akan berkembang dengan cepat dibandingkan dengan organisasi hierarkis dan birokratis, serta akan memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi. Kemampuan beradaptasi dapat terjadi dengan cepat jika tanggung jawab didistribusikan di seluruh bagian dalam organisasi dan para pemimpin mudah didatangi.
  • Bergerak dengan visi: Visi yang dapat memberikan inspirasi akan membangun kepaduan internal dan menjaga orang­orang dalam organisasi untuk bergerak menuju arah yang sama. Visi akan membimbing pengambilan keputusan yang memiliki jangka panjang.
  • Bergerak dengan nilai: Bersama dengan visi Anda, nilai yang ada akan menjadi pilar­pilar budaya dalam organisasi Anda. Nilai-nilai ini akan memberi tahu orang lain mengenai hal­hal yang penting dan akan membimbing Anda dalam membuat keputusan sehari­-hari.
  • Pemangku kepentingan: Organisasi yang peduli terhadap para pemangku kepentingan mereka menjadi berhasil dengan membuat hubungan yang kokoh dan tahan lama. Saat menunjukkan kepedulian Anda terhadap para karyawan, pelanggan, investor, partner, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya, mereka juga akan peduli terhadap Anda.
  • Keuletan: Kerusakan, kemacetan, dan kemogokan memengaruhi performa organisasi secara signifikan dan akan memengaruhi hasil keuangan secara signifikan pula. Oleh karena itu, keuletan bekerja  baik secara kultural dan operasional sangatlah penting.
  • Entropi Budaya yang rendah: Entropi budaya adalah pengukuran tingkat disfungsi dalam sebuah organisasi. Ini adalah jumlah energi yang digunakan dalam pekerjaan yang tidak produktif, seperti birokasi, persaingan internal, dan tindakan saling menyalahkan. Organisasi dengan performa tinggi mengukur budayanya secara reguler untuk mengurangi tingkat entropi budaya mereka. Entropi budaya yang rendah sangat terkait dengan eratnya hubungan antar staf dan tingginya pertumbuhan pendapatan. Eratnya hubungan antar staf akan meningkatkan jumlah energi pada organisasi tersebut melalui energi tambahan dari kebebasan bertindak yang akan dibawa oleh para karyawan yang terhubung erat, ke dalam pekerjaan.

 

Membangun Kepaduan Internal dan Kepercayaan pada Tim Kepemimpinan

Kepaduan internal harus dimulai dengan tim kepemimpinan. Jika tim kepemimpinan tidak sejajar satu sama lain, maka seluruh organisasi akan menjadi tidak seimbang dan entropi budaya perusahaan akan meninggi.

Kami telah menemukan bahwa satu faktor terpenting dalam keberhasilan untuk membangun organisasi dengan performa tinggi adalah dengan membuat tim kepemimpinan yang terpadu. Akan tetapi, faktor inilah yang sangat sulit dilakukan oleh organisasi.

Terdapat tiga kualitas yang paling menonjol dari kualitas lainnya dalam membangun tim kepemimpinan yang terpadu, yaitu visi bersama, nilai bersama, dan budaya saling percaya.

  • Visi bersama memastikan bahwa setiap orang memiliki tujuan yang sama.
  • Nilai bersama memastikan bahwa setiap orang membuat keputusan mengenai hal yang penting bagi perusahaan secara konsisten.
  • Budaya saling percaya adalah hal yang esensial. Hal ini meningkatkan ketangkasan dan kecepatan dalam membuat keputusan, serta membangun kesatuan dalam tim. Kepercayaan mengadopsi tanggung jawab, kewenangan, dan pembuatan keputusan yang terdistribusi. Selain itu, kepercayaan juga sangat fundamental dalam membangun hubungan yang erat dengan semua pemangku kepentingan.

Terdapat dua belas kondisi dasar yang harus dilakukan untuk membangun kepercayaan. Hal ini ditunjukkan dalam Matriks Kepercayaan di bawah ini. Tim harus menguasai semua komponen ini untuk membuat tim dengan performa bagus begitu pula organisasi dengan performa bagus.

  1. Tujuan Kepedulian: Mengawasi kesejahteraan organisasi dan semua karyawannya.
  2. Transparansi: Memberikan kejelasan mengenai motivasi yang menjadi dasar pembuatan keputusan.
  3. Keterbukaan: Menyetujui dan menerima ide dan opini dari semua karyawan.
  4. Integritas Kejujuran: Bertindak jujur dan terus terang dalam komunikasi antarpersonal.
  5. Keadilan: Bertindak tanpa prasangka, diskriminasi, atau tidak adil terhadap semua karyawan.
  6. Autentik: Berpikir, berucap, dan bertindak dengan konsisten dan sungguh­sungguh setiap saat
  7. Kemampuan Kemampuan: Menyelesaikan kegiatan profesional dengan mudah, cepat, dan cakap.
  8. Pengetahuan: Menjadi familier dan terbiasa dengan topik atau urusan profesional.
  9. Pengalaman: Mengumpulkan pengetahuan praktik melalui observasi pribadi.
  10. Hasil Reputasi: Menjadi diri yang disukai oleh bos, teman kerja, dan bawahan.
  11. Kredibilitas: Menyatakan ide menggunakan sikap yang meyakinkan dan dapat dipercaya.
  12. Performa: Mengindahkan tanggung jawab pribadi dengan pencapaian dan keunggulan.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

entropi budaya, act consulting

Apa Itu Entropi Budaya?

By Article No Comments

entropi budaya, act consulting

Tahun 2005 Negeri Bhutan menjadi sorotan dunia. Sebuah survey menyatakan bahwa 97 persen rakyat negara tersebut merasa diri mereka berbahagia, dengan 45 persen di antaranya merasa ‘sangat’ berbahagia. Sedangkan berdasarkan Peta Kebahagiaan Dunia yang dilansir pada    Juli 2006 oleh Universitas Leicester (Inggris),       kebahagiaan rakyat Bhutan secara global berada pada peringkat 8 tertinggi. Pendapatan perkapita hanya US$ 1.400, namun peringkatnya 9 level lebih tinggi dibandingkan dengan AS yang memiliki pendapatan perkapita US$ 41.800. Hal ini membuat tingkat kepuasan penduduk Bhutan berada dalam kelompok 10 persen tertinggi di dunia berdasarkan Happy Planet Index.

Di sisi lain, sebuah lembaga riset, Barrett Values Centre membuat peta nilai-nilai individu pada beberapa negara. Pada Agustus 2008, penelitian dilakukan di Iceland (Islandia), yang menunjukkan entropi (derajat ketidakteraturan) budaya di Iceland sangat tinggi lebih dari 54%. Ternyata sebulan kemudian Iceland mengalami kebangkrutan ekonomi. Pada Agustus 2007, dilakukan penelitian pada rakyat Latvia, entropi budayanya juga mencapai 54%. Dua bulan kemudian terjadi huru­-hara dan pemerintahan Latvia pun jatuh.

entropi budaya, act consulting

Yang dimaksud budaya dalam hal ini bukanlah kesenian, akan tetapi kumpulan karakter sebuah organisasi atau bangsa. Lalu apa yang dimaksud entropi? Dalam ilmu fisika diketahui bahwa jumlah energi yang dihasilkan sebuah mesin adalah sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Namun jika ada kerusakan komponen mesin, maka sebagian energi akan digunakan untuk mengatasi kerusakan tersebut. Energi tersebut dinamakan entropi.

Contohnya pada kendaraan, sebuah mobil dengan 1 liter bensin dapat menempuh jarak 10 km. Namun ketika beberapa komponen rusak seperti aus, pengkaratan, atau sumbatan, maka dengan 1 liter bensin itu, mobil tersebut hanya mampu menempuh 5 km. Setengah dari energi yang seharusnya digunakan untuk menempuh 5 km lagi dipakai untuk mengatasi kerusakan sistem. Dengan kata lain entropi mobil itu menjadi 50%.

Ternyata bahwa hal ini juga berlaku pada organisasi. Jumlah energi yang dihasilkan organisasi sama dengan jumlah energi yang dimasukkan. Ketika gangguan dalam organisasi meningkat misalnya karena: birokrasi, hirarki, kompetisi internal, ketidakjujuran, saling menyalahkan, dan lain­lain, maka energi karyawan untuk melakukan pekerjaan harus meningkat. Energi tambahan ini disebut “entropi budaya”. Padahal energi yang digunakan dalam mengatasi entropi budaya adalah energi yang seharusnya untuk menghasilkan.

Dalam lingkup korporasi, besarnya energi karyawan yang dapat berkontribusi pada perusahaan akan bergantung pada tinggi rendahnya entropi budaya. Ketika entropi rendah, energi yang tersedia untuk melakukan pekerjaan produktif menjadi tinggi sehingga performance perusahaan menjadi tertinggi. Sebaliknya, ketika entropi budaya tinggi, energi yang tersedia untuk melakukan pekerjaan menjadi rendah, sehingga kinerja organisasi pun rendah.

Entropi budaya dalam organisasi atau perusahaan terdiri dari tiga unsur:

  • Faktor-faktor yang memperlambat organisasi dan mencegah pengambilan keputusan yang cepat: birokrasi, hirarki, kebingungan, pertengkaran dan kekakuan.
  • Faktor-faktor yang menyebabkan gesekan antara karyawan: persaingan internal, menyalahkan, intimidasi, manipulasi.
  • Faktor-faktor yang mencegah karyawan dari kerja secara efektif: kontrol, kehati­hatian, mikro manajemen, fokus jangka pendek, teritorialisme.

entropi budaya, act consulting

Tabel berikut menunjukkan rentang entropi dan risiko yang dihadapinya:

10% or less Prime: Sehat

11% – 19% Minor Issues: Membutuhkan adjustment kultural dan struktural

20% – 29% Significant Issues: Membutuhkan transformasi kultural dan struktural dan leadership coaching

30% – 39% Serious Issues: Membutuhkan transformasi kultural dan struktural dan leadership coaching/ mentoring, dan pengembangan leadership

40 – 49% Critical Issues: Membutuhkan transformasi kultural dan struktural, perubahan dalam leadership, leadership mentoring/coaching, dan pengembangan leadership

More than 50% Cultural Crisis: untuk korporasi, risiko tinggi berupa kebangkrutan atau take over

Sumber: Barrett Values Centre

 

Pada tahun 2011 Lembaga riset Barrett Values Centre telah memberikan sertifikasi resmi kepada ESQ untuk melakukan pengukaran entropi budaya organisasi ataupun negara.

Selama ini Barrett  Values  Centre telah mengukur lebih dari 2.000 organisasi. Banyak di antara organisasi tersebut, yang saat dilakukan riset entropi budayanya ada pada batas maksimum dengan kisaran ledakan kebangkrutan atau pengambilalihan aset perusahaan.

Di Indonesia istilah entropi budaya belum begitu dikenal secara luas, padahal itulah yang sedang banyak terjadi di sini. Di tengah krisis mental dan moral bangsa ini, bisa dibayangkan berapa persen entropi bangsa Indonesia dan bisa diperkirakan berapa besar kerugian bangsa dan berbagai perusahaan akibat entropi budaya.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

mengapa gagal membangun budaya perusahaan, act consulting

Mengapa Bisa Gagal Membangun Budaya Perusahaan?

By Article No Comments

mengapa gagal membangun budaya perusahaan, act consulting

Peristiwa The Global Financial Crisis (GFC) yang  terjadi   beberapa tahun lalu menimbulkan banyak perubahan dalam peta bisnis dunia. Kebangkrutan sebuah bank investasi terbesar keempat AS September 2008 dituding sebagai pemicu penyebab kegoncangan finansial global tersebut. Hal itu kemudian seolah membuka mata dunia bahwa beberapa perusahaan terbesar itu ternyata tidak lebih dari penipu yang membohongi investor, nasabah, dan masyarakat dunia. Karena itulah pentingnya budaya perusahaan (corporate culture) yang berlandaskan etika dan moral makin dirasakan penting.

Namun saat ini  masih banyak perusahaan yang gagal membangun budaya perusahaannya. Prof Richard Barret          mengidentifikasi beberapa sebab kegagalan tersebut, pertama, perusahaan tidak mendefinisikan visi, misi, dan nilai perusahaannya. Kedua, tim manajemen telah merumuskan visi, misi, dan nilai perusahaannya namun tidak di-’share’ kepada seluruh karyawannya. Ketiga, visi, misi, dan nilai perusahaan telah dirumuskan dan disebarkan pada karyawan tapi, mereka tidak merasa memiliki visi, misi, dan nilai perusahaannya. Para karyawan tidak diberi kesempatan untuk memberi masukan atau berpartisipasi dalam proses perumusannya. Keempat, visi, misi, dan nilai perusahaan telah dirumuskan, dan ‘dimiliki’ karyawan, namun tidak terintegrasi dengan sistem, prosedur, atau praktik organisasi.

Visi, misi, dan nilai sangat pen ting dalam pembangunan budaya perusahaan. Visi menjelaskan arah dan tujuan perusahaan, misi menjelaskan apa yang akan dilakukan, sedangkan nilai menjelaskan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menjalankan misi dan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, Visi menyatakan alasan mengapa Anda bekerja (“why” you are doing this work) dan mau ke mana Anda, Misi menyatakan apa yang Anda kerjakan (“what” work you are doing), Values menyatakan bagaimana cara bekerja (“how” the people will work).

Banyak perusahaan yang telah merumuskan visi, misi, dan nilainya, namun gagal sehingga mengalami kebangkrutan. Hal itu disebabkan visi, misi, dan nilai hanya ada pada tataran konsep tanpa implementasi, hanya menjadi pajangan dan tidak keluar menjadi perilaku (behaviour).

Kegagalan dalam membangun visi, misi, nilai perusahaan di antaranya: Pertama, visi, misi, nilai hanya disampaikan secara intelektual sehingga hanya menjadi “knowledge”. Kedua, visi, misi, nilai tidak  dikaitkan dengan keyakinan individu. Ketiga, karyawan tidak merasakan adanya keselarasan (alignment) antara visi, misi, nilai pribadi dan perusahaan.

Oleh karena itu, visi, misi, nilai tidak cukup dirumuskan  secara intelektual (IQ) namun  harus dikomunikasikan dan ditanamkan juga secara emosional (EQ), dan spiritual (SQ).  Spiritualitas bertujuan agar visi, misi, dan value tersebut kepada belief  system (sistem keyakinan) mereka. Menurut Prof. Barrett tujuan visi dan misi: secara Fisik menyediakan struktur pekerjaan, secara Emosional memberikan makna dan rasa kebanggaan, secara Mental dasar untuk pengambilan keputusan, secara Spiritual kejelasan untuk manifestasi.

Grafik diatas menunjukkan bahwa:

1. Jika nilai dan keyakinan individu selaras (align) dengan perilaku individu, maka disebut Personal Alignment. Contoh: orang yang memiliki nilai kejujuran dan senantiasa sesuai antara hati, ucapan, dan perilakunya.

2. Jika nilai dan kepercayaan perusahaaan  selaras dengan perilaku kelompok maka disebut Structure Alignment. Contoh: perusahaan yang memiliki nilai integritas, transparan, terbuka, hal itu sejalan dengan sistem di perusahaan sehingga Good Corporate Governance pun dijalankan.

3. Jika nilai dan keyakinan individu selaras dengan nilai dan kepercayaan perusahaan dinamakan Values Alignment. Contoh: si A adalah karyawan yang jujur bekerja di perusahaan yang  menjunjung tinggi kejujuran.

4. Jika perilaku individu selaras dengan perilaku kelompok dinamakan Mission Alignment. Contoh: perusahaan yang memberikan penghargaan bukan hanya pada kinerja atau performance tapi kejujuran juga dinilai sehingga ada Key Value Indicator (KVI).

Budaya perusahaan yang positif dan kuat dapat dibentuk hanya jika nilai­nilai dan perilaku bersamaan secara struktural diintegrasikan ke dalam sistem sumber daya manusia, khususnya proses evaluasi pribadi. Proses­proses berbasis nilai evaluasi kinerja dan ‘kebijakan mempekerjakan’ sangat penting untuk mengembangkan budaya kuat dan positif.

Paparan di atas makin memperjelas pentingnya keselarasan antara visi, misi, nilai Pribadi dan Perusahaan. Hal itulah yang menentukan apakah perusahaan akan bertahan atau hancur. Menurut Peter Drucker, apabila berbicara tentang manajemen dan bisnis sesungguhnya berbicara tentang perilaku manusia.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

transformasi budaya perusahaan, act consulting

Transformasi Budaya Perusahaan, Transformasi Individu

By Article No Comments

transformasi budaya perusahaan, act consulting

Kehancuran beberapa perusahaan dunia yang diakibatkan berbagai pelanggaran moral dan etika, menyebabkan gelombang kesadaran akan pentingnya budaya perusahaan. Karena itulah sejak satu dekade lalu, disebut sebagai Era Kesadaran (Consciousness Age). Korporasi tidak bisa lagi hanya mengandalkan  kekuatan intelektual, namun mulai menyadari pentingnya modal budaya (Cultural Capital).

Tentu masih lekat dalam ingatan kita, tepat 10 tahun lalu Enron, salah satu perusahaaan energi ter besar AS, dinyatakan telah merekayasa laporan keuangan. Bukan hanya perusahaannya yang kemudian bangkrut, bahkan kehidupan beberapa petinggi Enron pun berakhir tragis. Clifford Baxter, wakil komisaris utama, bunuh diri dengan cara menembak kepala di dalam mobil di depan rumah mewahnya di Houston. Kenneth Lay, CEO Enron, meninggal terkena serang an jantung di villanya di Aspen sebelum menjalani masa hukumannya.

Hanya enam minggu setelah terkuaknya kasus Enron, perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di AS, WorldCom, menyatakan telah menggelembungkan laba 3,8 milyar dollar AS. Sang CEO, Bernard Ebbers (63), akhirnya dinyatakan bersalah atas skandal akuntansi terbesar dalam sejarah AS itu dengan 9 tuduhan. Pada September 2006, Ebbers mengemudi Mercedesnya sendiri ke penjara untuk menjalani hukuman hingga tahun 2028.

Sehari setelah WorldCom, perusahaan raksasa lain, Xerox,  juga mengumumkan akan mengoreksi laporan keuangan mereka yang melebihkan keuntungan sampai US$ 6,4 miliar dalam lima tahun terakhir. Menyusul perusahaan lain seperti ImClone System, Adelphia Communications, dan Tyco International, yang juga mengaku telah melakukan kesalahan. Tahun­tahun awal 2000­an seakan menjadi kuburan massal perusahaan besar akibat manipulasi keuangan yang mengakibatkan kepercayaan para investor berada di titik terendah.

Hal­-hal di atas yang kemudian melahirkan Era Kesadaran bahwa makin dirasakan pentingnya etika dan moralitas dalam dunia bisnis. Yang menarik, saat ini penilaian saham bukan hanya pada asset perusahaan, namun justru lebih pada budaya perusahaan. Prof. Barret mengatakan bahwa saat ini modal cultural atau intangible drivers menempati porsi 60 hingga 85%, sedangkan modal finansial atau tangible drivers hanya 45% dari nilai saham.

Pertanyaannya bagaimana cara melakukan sebuah transformasi budaya perusahaan? Prof. Richard Barrett dalam “Liberating The Corporate Soul” menyatakan “Organization do not transform. People do.” Artinya bahwa korporasi tidak dapat bertransformasi namun orang­-orang di dalamnya yang seharusnya melakukan sebuah transformasi. Dengan kata lain transformasi budaya perusahaan harus diawali dengan transformasi individu di dalamnya khususnya para pemimpinnya.

transformasi budaya perusahaan, act consulting

Yang dimaksud dengan transformasi individu adalah bagaimana mengubah value atau nilai dan behavior atau perilaku seseorang. Value menurut Barrett merefleksikan motivasi serta hal-hal yang dianggap penting oleh individu dan kelompok.

Mengapa value atau nilai pribadi individu dapat mengakibatkan transformasi perusahaan? Pada bagan berikut ini tampak bahwa value dan belief (keyakinan) individu mempengaruhi karakter dan perilaku individu. Selanjutnya karakter dan prilaku individu akan mempengaruhi value dan belief kelompok, inilah yang dinamakan budaya perusahaan.

Budaya perusahaan pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku kelompok atau struktur sosial. Agar transformasi individu dalam perusahaan berjalan, maka para pemimpin atau leader harus menjadi role model dari nilai­nilai yang telah disepakati itu. Seorang leader sesungguhnya contoh hidup dan berjalan dari value itu sendiri. Akan tetapi bila sang pemimpin melanggar nilai, pemimpin tidak bisa menjadi contoh dan secara otomatis menghancurkan budaya perusahaan yang dibangunnya sendiri. Meskipun menggunakan konsultan kelas dunia yang menghabiskan milyaran rupiah, tanpa contoh pemimpin, maka nilai perusahaan akan roboh.

Untuk memperkuat nilai harus ada penyelarasan (alignment) antara: keyakinan, nilai, dan perilaku. Ibarat gunung es maka keyakinan itu berada pada lapisan bawah, di atasnya ada nilai, dan yang muncul ke permukaan adalah perilaku.

Kesalahan yang terjadi selama ini adalah leader hanya mengajarkan perilaku tanpa menanamkan nilai dan keyakinan akibatnya terjadi keterbelahan antara keyakinan, nilai, dan perilaku.

Oleh karena itu, diperlukan dimensi spiritual (SQ) untuk membangun keyakinan, yang harus selaras dengan                dimensi emosi (EQ) untuk membangun nilai, dan IQ untuk membangun KPI (Key Performance Indicator). Key Value Indicator (KVI) diperlukan untuk memantau nilai dan KPI sebagai output dari perilaku. Karena muara dari semua ini adalah performance kerja yang terukur.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

pentingnya budaya perusahaan, act consulting, ariningtyas prameswari

Pentingnya Budaya Perusahaan di Era Kini

By Article No Comments

pentingnya budaya perusahaan, act consulting, ariningtyas prameswari

Banyak perusahaan masih belum menyadari pentingnya budaya perusahaan. Padahal, perubahan dalam skala global terus terjadi, mempengaruhi berbagai aspek bisnis. Strategi manusia untuk mempertahankan hidup sekaligus meraih keuntungan (profit) pun senantiasa mengalami pergeseran. Dalam rentang dua abad terakhir, telah terjadi evolusi yang mempengaruhi wajah dunia korporasi dan bisnis.

Setidaknya ada empat periode yang dilalui manusia hingga saat ini. Pertama Era Agraris, Era Industri, Era Informasi, dan Era Kesadaran. Pada Era Agraris manusia bertumpu pada pertanian, besarnya keuntungan tergantung pada jumlah dan kekuatan sumber daya manusia yang dimiliki serta sumber daya alam yang dikuasai. Sedangkan pada Era Industri, yang menentukan kesuksesan sebuah bisnis adalah kualitas produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, Ford Motor Company yang berhasil menjadi pemimpin di industri otomotif karena kualitas mobil yang mereka produksi saat itu.

Era Informasi dimulai oleh perusahaan seperti IBM. Pada era ini keunggulan sebuah korporasi ditentukan oleh kemampuan manusia dalam menggunakan pikiran mereka khususnya dalam mengelola data dengan kecepatan tinggi atau dalam menghasilkan ide-­ide baru sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi. Pada era ini yang menjadi modal manusia adalah intelektual (Intellectual Capital).

Namun kemudian, sejak  tahun 2000-an kita mulai mengenal dengan apa yang disebut sebagai Era Kesadaran (Consciousness Age), korporasi tidak bisa lagi hanya mengandalkan kekuatan intelektual sumber daya manusianya dan mulai disadari pentingnya modal budaya (Cultural Capital) dalam  sebuah korporasi.

Ada perbedaan yang cukup signifikan pada masing­-masing era tersebut. Pada Era Industri yang diutamakan adalah kualitas, produktifitas, efisiensi, dan marketing masal sedangkan manajemen yang popular pada masa itu adalah Six Sigma. Pada Era Informasi yang menjadi fokus adalah pengetahuan (knowledge), pembelajaran (learning), pemberdayaan (empowerment), pertumbuhan individu (personal growth), dan kepuasan pelanggan. Sedangkan pada Consciousness Age yang diutamakan adalah nilai (value), etika (ethics), kolaborasi (collaboration) dan         Corporate Social Responsibility (CSR).

Di Era ‘Consciousness’ ini, budaya perusahaan menjadi penentu kesuksesan sebuah bisnis. Era ini dipicu oleh terjadinya peningkatan dalam berbagai hal seperti tekanan kompetisi, risiko dan ketidakpastian; juga pertumbuhan teknologi yang makin cepat. Untuk dapat bertahan, maka setiap perusahaan atau organisasi harus melakukan transformasi. Diperlukan cara berpikir, sudut pandang, dan aturan baru untuk menjawab tantangan perubahan yang ada. Selain transformasi bisnis yang di antaranya meliputi struktur dan strategi, korporasi juga harus melakukan transformasi budaya yang meliputi visi, misi dan nilai korporasi.

Mengapa transformasi budaya perusahaan penting? Telah banyak riset yang menunjukkan pentingnya budaya korporasi. Salah satu di antaranya adalah Kotter dan Heskett dalam “Corporate Culture and Performance” mengatakan bahwa korporasi dengan budaya yang kuat mampu menghasilkan revenue 4 kali lebih tinggi, memiliki kualitas tenaga kerja 7 kali lebih baik, meraih nilai saham 12 kali lebih tinggi serta keuntungan bersih lebih dari 700% jika dibandingkan korporasi dengan budaya yang lemah.

Sebaliknya, budaya perusahaan yang lemah menimbulkan kerugian.  Jim Ware dalam “Investment Leadership” mengatakan bahwa korporasi dengan budaya lemah  dalam jangka waktu tiga tahun saja mengalami penurunan nilai aset sebesar 80% dan turn over karyawan hingga 50%.

Hasil riset tersebut semakin menunjukkan pentingnya penguatan budaya perusahaan untuk memenangkan kompetisi di Era Consciousness ini. Apabila sebuah korporasi ingin berhasil, maka harus menyadari pentingnya budaya perusahaan dan segera membangun budaya perusahaan yang sesuai dengan kondisi terkini.

Untuk mendapatkan bantuan mengenai cara mengukur budaya perusahaan dan mengetahui berbagai hal seperti entropi budaya, values penghambat, gambaran keinginan karyawan, dan sebagainya hingga dapat mengakselerasi perubahan yang kompetitif di organisasi Anda, ACT Consulting memiliki langkah-langkah dan metodologi yang diperlukan. Hubungi kami via email di info@actconsulting.co atau telepon ke 0821-2487-0050 (Donna).

Open chat
1
Hubungi Kami
Scan the code
ACT Consulting International
Halo,
Ada yang bisa kami bantu?