Skip to main content

Menembus Penghalang Budaya Inovasi

By October 29, 2018April 30th, 2019Article

 

Change Agent Certification Program, Change Agent Sertifikasi

Hari Pahlawan yang kita peringati bersama di Bulan November 2018 ini, seharusnya menjadi momen untuk perkembangan di dalam organisasi dimana kita berada. Salah satu caranya adalah dengan membuat berbagai inovasi, untuk menyelamatkan organisasi di tempat dimana kita berkiprah. Untuk itu, mari kita simak hasil studi literatur di bawah ini, mengenai cara-cara untuk menembus penghalang budaya inovasi. Semoga bermanfaat.

Samsung Group, awalnya adalah perusahaan pengekspor beras. Namun pada tahun 1987, saat pendirinya, Lee Byung Chul meninggal dunia, Samsung sudah merambah pasar teknologi global, terutama di bidang elektronik dan semi konduktor. Pucuk kepemimpinan kemudian diemban oleh putra ketiganya, Kun Hee Lee. Di tangannya, Samsung (yang dalam bahasa korea berarti tiga bintang), berhasil melalui fase-fase krusial dan melakukan lompatan-lompatan spektakuler, yang kini menempatkannya di garda terdepan teknologi digital.

Dr Hwang Chang-gyu, presiden dan CEO Samsung Electronics, menggambarkan betapa inovasi merupakan nyawa pemberi hidup daya saing perusahaannya. Ketika satu tujuan tercapai, itu berarti awal menetapkan tujuan baru.

 

Dalam hal inovasi, Hwang mengibaratkan orang-orang Samsung hidup seperti kaum nomaden. Mereka terus mengembara mencari temuan-temuan baru. Mereka mengubah fokus bisnis ketika standar-standar teknologi berevolusi. Mereka berhijrah ketika perusahaan- perusahaan lain puas dalam kemapanan.

 

Contohnya, ketika pasar semi konduktor dunia tiarap pada tahun 2003, Samsung malah menggelontorkan dana segar 2 milyar USD, untuk pabrik baru perancang memory chip komputer, telepon seluler dan game console. Hasilnya, kini samsung menjadi nomor satu diatas Intel untuk tiga produk memori utama, yakin DRAM, SRAM dan NAND Flash.

 

Apa yang diwariskan Lee Byung Chul bukanlah semata-mata gurita bisnis dengan modal yang super mapan. Pun bukan semata bisnis untuk kepentingan bisnis itu sendiri. Lee telah berhasil menanamkan filosofi bisnis korporat sebagai bentuk pengabdian :

“Kami akan mengabdikan sumberdaya dan teknologi kami untuk menciptakan produk-produk dan jasa unggul, sehingga berkontribusi pada perbaikan masyarakat global”.

Melintasi batas-batas kebangsaan, Samsung menjadikan inovasi sebagai kultur korporasi.

 

Samsung tidak sendirian. Para Elit Manajemen, memandang Inovasi sebagai jalan untuk mencapai sukses jangka panjang. Menurut survey yang diadakan sebuah lembaga internasional, yang dilakukan di seluruh dunia, lebih dari 70% Elit manajemen memandang inovasi sebagai 3 mesin pertumbuhan teratas dalam 3 hingga 5 tahun ke depan. Organisasi seperti ini telah mengintegrasikan inovasi ke dalam visi, misi dan strategi mereka.

 

David Francis, PhD dan B. Kim Barnes (2015) , mendefinisikan inovasi sebagai “mengoptimalkan potensi keuntungan dalam sebuah ide yang baru bagi perusahaan”.

 

Dua konsep yang terkandung dalam definisi diatas adalah memandang inovasi sebagai penciptaan value individu dan organisasi, untuk menghasilkan suatu hal yang baru. Tidak hanya tentang menciptakan ide yang baik, tapi juga bagaimana untuk membawa ide ini hingga membuahkan hasil.

 

Inovasi memerlukan setiap orang untuk berubah dan bergerak melampaui status quo. Visi, motivasi, focus dan ketangguhan, serta bimbingan kepemimpinan, diperlukan untuk mencapai sukses dalam mengembangkan inovasi tersebut.

 

Apa saja penghalang bagi berkembangnya budaya inovasi? Menurut Nelson dan Barnes (2014), sejumlah faktor di bawah ini ditemukan pada perusahaan dengan budaya yang tidak mendukung kreativitas dan inovasi:

  • Rasa takut dan hukuman; tidak bisa berdiri bersama dengan kesediaan pekerja untuk mengambil resiko yang diperlukan dalam menciptakan inovasi
  • Kehampaan makna. Bila tidak ada arah tujuan, semua akan mengambil semua jalan. Ini karena, tidak ada visi – tidak ada inovasi.
  • Tidak melihat perubahan yang dihasilkan. Bila pekerja memandang hasil pekerjaannya tak dihargai dan jatuh ke lubang hitam, dipandang tidak sesuai dengan visi dan tujuan perusahaan, mereka tidak akan repot-repot menciptakan inovasi
  • Tidak adanya rasa percaya diri. Bila yang didengar pekerja hanya kegagalan, dan tidak pernah ada apresiasi, akan banyak pekerja yang akan memotong ide-idenya sendiri sebelum diajukan.
  • Penolakan dan rasa frutasi. Pekerja akan merasa tidak perlu melakukan sesuatu untuk organisasi yang tidak memperlakukan mereka dengan baik.
  • Tidak adanya pemberdayaan. Micromanaging dan kelumpuhan untuk pekerja mengambil keputusan sendiri, akan membunuh inisiatif mereka
  • Mental kalah menang. Peperangan yang tidak terlihat. Membiarkan permusuhan dalam sesama pekerja.
  • Gangguan yang kerap muncul, kesibukan formal yang menyita waktu pekerja, akan menghisap energi kreatif dan kegembiraan dalam berinovasi, dan membuat mereka lelah. Contohnya ; waktu rapat yang tak berujung. Mungkinkah pekerja anda bisa berinovasi bila mereka tidak diberikan waktu untuk berpikir?
  • Dukungan implisit dan eksplisit terhadap status quo. Membuat pekerjaan yang sifatnya inovatif ditahan atau disisihkan
  • Kurangnya fleksibilitas dan keterbukaan terhadap terbukanya peluang dan kesempatan baru, dan kurangnya nilai yang diberikan untuk mengukur potensi yang tengah dikembangkan dalam proses inovasi. Biasanya para innovator ditekan untuk menyediakan data klien baru yang dihasilkan dan data peluang keberhasilan inovasi dalam bentuk angka dollar atau rupiah, dan bila tidak bisa, inovasi yang tengah dikembangkan dianggap tidak patut dilanjutkan
  • Lingkungan fisik dan sosial yang steril, hanya terfokus pada keseragaman. Membuat keunikan, kreativitas dan ide-ide diluar kotak tidak bisa distimulasi.

Apakah budaya penghalang inovasi diatas ada dalam perusahaan anda? Atau dilakukan oleh para Elit Manajemen di perusahaan anda? Bila ya, mari sama-sama berbenah.

 

Nelson dan Barnes (2014) dalam jurnal “Industrial and Commercial Training”, mengungkapkan hal diatas dan mengutip survey Lembaga Internasional yang menyampaikan bahwa 94% elit manajemen yang ikut dalam survey tersebut menegaskan bahwa para pekerja dan budaya kerja merupakan penggerak inovasi dalam perusahaan.

 

Cohn, Katzenbach, dan Vlak dalam artikel Harvard Bussiness Review berjudul “Mencari dan mendandani innovator pembaharu”, menyampaikan bahwa hanya 5-10 % manajer yang berpotensi tinggi untuk menjadi innovator pembaharu (dalam Cohnet et al 2008, dalam Nelson dan Barnes 2014).

 

Nelson dan Barnes (2014) menegaskan pentingnya mengenali dan mengembangkan pemimpin yang menunjukkan mindset dan langkah-langkah yang sifatnya inovatif. Agar para manajer ini bisa menjadi innovator pembaharu, Elit manajemen perlu mengenali kelebihan mereka, dan menjaga agar langkah- langkah inovatif yang mereka lakukan tidak terancam oleh status quo dengan skill yang berbeda.

 

Perbedaan skill dan perbedaan langkah ini bukanlah suatu hal yang boleh diperbandingkan satu sama lain oleh Elit manajemen. Karena akan menciptakan budaya yang tidak sehat. Para manajer yang dikembangkan menjadi innovator pembaharu ini, akan membantu perusahaan untuk tetap terdepan, dan membawa nilai yang unik bagi organisasi.

 

Para pemimpin inovasi ini haruslah dibimbing untuk menjalankan tugas-tugas yang menantang, dengan diberikan dukungan mentor berkapasitas tinggi, dan jaringan kawan sejawat dalam level tertinggi diorganisasi. Pada langkah terakhir, individu ini harus ditempatkan di tengah organisasi sehingga bisa menjadi motor inovasi yang out of the box, dan bisa bekerja melintasi berbagai bagian di organisasi. Para innovator pembaharu ini akan berfokus sebagai penghubung inovasi.

 

Itulah beberapa hal yang ditegaskan oleh Nelson dan Barnes dalam Jurnal “Industrial dan Commercial Training” yang mereka susun yang berjudul “Apa yang membunuh Inovasi? Peran anda sebagai pemimpin yang mendukung budaya inovasi”. Setelah mengetahui langkah-langkah untuk menembus penghalang tumbuhnya budaya inovasi di perusahaan anda, dan mengetahui cara pengembangan para inovator di perusahaan anda, mari kita sama-sama berbekal dengan pengetahuan ini, untuk siap menghadapi perubahan yang makin cepat di era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex & Ambiguity) ini. Salam Semangat Pahlawan dari kami di ESQ 165.

 

oleh:  Dudi Supriadi – Business Innovation Expert ACT Consulting

Leave a Reply

Open chat
1
Hubungi Kami
Scan the code
ACT Consulting International
Halo,
Ada yang bisa kami bantu?