Skip to main content

Pengaruh British Exit di Tahun 2020 (Brexit) Bagi Indonesia

By January 6, 2020News
Pengaruh-British-Exit-di-Tahun-2020-(Brexit)-Bagi-Indonesia

Suatu referendum yang dilakukan oleh suatu negara bukanlah hal yang ringan. Seperti yang terjadi saat Indonesia memberikan peluang referendum bagi Timor Timur, maka yang kemudian terjadi adalah lepasnya daerah tersebut dan kini telah menjadi sebuah negara kecil yang terpisah dari Indonesia.

Referendum dilakukan oleh suatu negara untuk memutuskan hal besar yang menyangkut hajat hidup para penduduknya.  Baru-baru ini, Kerajaan Inggris Raya atau Great Britain melakukan referendum yang diikuti oleh warganya. Pada referendum yang dilakukan pada tanggal 23 Juni 2016 tersebut, lebih dari 72% rakyat inggris sejumlah lebih dari 30 juta orang melakukan pemilihan suara dalam referendum brexit tersebut.  saat itu 52% rakyat inggris memilih untuk melakukan brexit, atau sejumlah 17.4 juta warga Inggris yang memilih agar negaranya keluar dari Uni Eropa.

Sejumlah kebijakan ekonomi regional di kawasan Inggris Raya dapat berubah karena pilihan rakyat Inggris ini. Menurut ahli hubungan internasional dari Indonesia, Dinna Wisnu PhD dalam sebuah situs nasional, Inggris dalam masalah ini memberlakukan kebijakan untuk melanjutkan perjanjian perdagangan dengan negara-negara di dalam Uni Eropa. Dikatakan bahwa sampai 1 Mei 2019, ada 10 perjanjian dagang yang berlaku secara rollover, yang telah diselesaikan dengan kesepakatan yang berbeda-beda.

Menurut artikel yang memuat pendapat ahli hubungan internasional di kawasan eropa tersebut, ketakutan terbesar Inggris adalah apabila perjanjian dilakukan tanpa adanya suatu kesepakatan yang berpotensi memicu pindahnya investasi Global dari Negara tersebut ke Negara Eropa lainnya. 

Hal lain yang menjadi kekhawatiran pemerintah Inggris adalah adanya hutang pemerintah yang cukup tinggi yaitu sebesar 80%, yang menghambat fleksibilitas gerak pemerintah dari segi anggaran jangka pendek dan jangka menengah.

Namun sejumlah situs pendidikan seperti situs kampus Oxford bahkan memberikan porsi khusus bagi mahasiswa dan karyawan kampus tersebut yang berasal dari Negara Uni Eropa. Hal ini karena kesepakatan pemerintah tersebut dapat menyebabkan timbulnya biaya dari berbagai pos. seperti munculnya keharusan dari pihak kampus untuk membayarkan visa dari para karyawannya yang berasal dari negara Uni Eropa, yang semula tidak berbayar.

Hal lain seperti biaya pabean, munculnya biaya impor dan ekspor, serta peraturan yang akan berlaku di imigrasi saat keluar dari perbatasan inggris. Sejumlah traveller juga mengkhawatirkan apakah akan terjadi penambahan biaya untuk masalah visa, tiket dan penggunaan paspor.

Sejumlah kekhawatiran lain datang dari sektor sumber daya manusia, dimana jumlah rakyat Inggris tidak mencukupi untuk dapat memberikan fungsi pelayananan dan pendidikan bagi warganya. Fungsi tersebut yang selama ini dipenuhi oleh tenaga kerja dari negara lain di Eropa ini, kini menimbulkan pos pengeluaran baru bagi perusahaan-perusahaan pengguna tenaga kerja regional ini.

Sikap Boris Johnson sendiri sebagai Perdana Menteri Inggris sangat tampak dalam pidatonya saat pertama kali dilantik. Ia dengan tegas menyatakan bahwa dengan keputusan Brexit tersebut, Inggris akan melakukan proses demokrasi yang lebih otonom. Yaitu bahwa Inggris Raya akan bebas dari pengaruh pemimpin uni eropa yang berasal dari luar negara tersebut. Bahwa Inggris hanya akan dipimpin dan diatur oleh orang-orang yang berasal dari negara tersebut. Oleh orang-orang yang dipilih dan diturunkan oleh rakyat Inggris sendiri.

Mengenai pengaruh Brexit yang akan berlaku pada tanggal 31 Januari 2020 ini bagi Indonesia, para pengamat memberikan pandangan yang berbeda-beda. Duta Besar kerajaan Inggris di Indonesia, Owen Jenkins mengatakan bahwa pengaruh keluarnya Inggris dari Uni Eropa tidak akan banyak berdampak bagi negara kita. Bahwa kalaupun ada hal tersebut bisa mendatangkan sejumlah hal yang bersifat positif bagi Indonesia. Yaitu akan terbukanya peluang bagi ekonomi RI untuk memasuki pasar beberapa komoditas di Inggris, yang semula dipenuhi oleh negara-negara di dalam Uni Eropa.

Dinna Wisnu menyatakan bahwa hubungan perdagangan antara Indonesia dan Inggris termasuk baik. Selama 2014 hingga 2018, terjadi surplus volume perdagangan walaupun ada tren penurunan. Wisnu menyatakan bahwa produk yang paling banyak di ekspor oleh Indonesia adalah nikel, bahan alas kaki, tekstil, kayu olahan, elektronik dan produk agrikultur.

Wisnu dalam situs nasional tersebut menyebutkan bahwa ada kemungkinan Inggris Raya akan mengatur ulang kesepakatan perdagangan dengan negara-negara non Eropa. Karena itu, ia menyatakan agar kementerian di Indonesia bergerak cepat untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah Inggris Raya untuk masalah ini. Dinna Wisnu menyatakan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan posisi sebagai pemasok berbagai kebutuhan Inggris yaitu dalam hal produk konsumen seperti alas kaki, olahan kayu, mesin elektronik seperti mesin cetak dan produk agrikultur seperti minyak sawit. Hal ini karena Inggris adalah negara terbesar di Uni Eropa yang menjadi tujuan ekspor Indonesia.

Leave a Reply

Open chat
1
Hubungi Kami
Scan the code
ACT Consulting International
Halo,
Ada yang bisa kami bantu?