Sebuah Consulting Firm dalam industri pertambangan CRU International melakukan pengukuran budaya organisasi pada akhir tahun 2009. Pada saat itu, dunia sedang mengalami krisis setelah jatuhnya Lehman Brothers. Secara global, dunia bisnis mengalami penurunan keuntungan dan persaingan yang semakin ketat. CRU International bukan hanya mengalami tekanan dari luar namun kondisi budaya kerja di dalam CRU International pun ‘dirasakan’ memperburuk situasi yang harus dihadapi oleh Dewan Direksi.
Sebagai langkah awal pembenahan yang dilakukan maka Dewan Direksi memutuskan untuk melakukan pengukuran kesehatan ” Corporate Culture ” nya terlebih dahulu, karena pada saat itu mereka ‘merasakan benar’ situasi yang tidak sehat namun belum dapat mengidentifikasi secara pasti penyebabnya , dan dimana sumbernya. Seperti hantu yang tapi tidak diketahui di mana keberadaanya dan seperti apa pula bentuknya.
Lalu pengukuran kesehatan corporate culture segera dilakukan secara online dan cepat yang melibatkan seluruh karyawan. Hasil yang diperoleh sangat mengejutkan, meskipun beberapa hal di antaranya sudah diperkirakan sebelumnya. Entropi atau ‘racun birokrasi’ di dalam organisasi mereka mencapai 30%!
Ini artinya Corporate Culture sedang sakit keras sehingga perlu dilakukan tindakan segera apabila ingin menyelamatkan perusahaan dari ambang kehancuran. Karyawan mengalami situasi yang membuat mereka tidak nyaman bekerja sehingga menurunkan ‘engagement’ serta dan akhirnya menurunkan produktivitas. Hal-hal yang ‘meracuni’ budaya segera dapat diketahui, antara lain: pengembangan yang berjalan sendiri-sendiri, birokrasi, persaingan internal, kebingungan, dan juga pekerjaan yang tidak terjamin keamanannya.
Menindaklanjuti data-data hasil pengukuran tersebut maka Dewan Direksi segera menyusun langkah-langkah perbaikan, di antaranya menyelenggarakan “focused group discussion” bersama perwakilan karyawan terkait untuk menggali situasi kerja seperti apa yang sedang mereka alami, atau yang mereka amati terjadi di dalam organisasi, bagaimana ‘racun birokrasi ‘ itu muncul, dan kemudian mencari solusinya. Kemudian secara rutin mengirimkan email dan menyelenggarakan forum komunikasi terbuka dengan seluruh karyawan untuk menyampaikan arah dan strategi organisasi ke depan untuk menjawab isu kebingungan di antara mereka.
Dewan Direksi kemudian juga meluncurkan serial program pengembangan pelatihan kepemimpinan bagi seluruh karyawan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan mereka.
Selain itu, nilai dan perilaku yang diharapkan dari karyawan dimasukkan sebagai bagian dari sistem sumber daya manusia, di dalam peraturan perusahaan, disampaikan dalam setiap meeting, diajarkan kepada karyawan baru dan sebagainya. Dan CEO melakukan perubahan struktur dan sistem apabila diperlukan. Seluruh program tersebut dirancang secara komprehensif dan diimplementasikan dalam jangka waktu hanya dalam dua tahun.
Hasilnya, pada saat dilakukan pengukuran kembali di akhir tahun 2011, entropi atau ‘racun birokrasi ‘ di CRU International berhasil diturunkan secara signifikan hingga mencapai 19%. Hasil akhirnya kinerja korporasi pun menunjukkan prestasi yang sangat baik di sisi pelayanan, cost, revenue, maupun profit.
Memperbaiki Birokrasi Melalui Transformasi Corporate Culture
Sesungguhnya ini pula yang perlu dilakukan segera dalam hal reformasi birokrasi di Indonesia yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah baik di Kementrian, Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah Daerah dan BUMN, yaitu perlunya Standarisasi Kesehatan Birokrasi dan pengukurannya secara berkala. Tanpa adanya penentuan standar kesehatan birokrasi yang jelas, maka akibatnya upaya reformasi pun tidak akan jelas, dan hasilnya pun tidak akan jelas pula. Hal ini sangat penting di tengah semakin tingginya harapan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih cepat dalam pertumbuhan ekonomi dan sistem komunikasi masyarakat yang semakin cepat dan makin terbuka.
Reformasi birokrasi tanpa kejelasan standar, ibarat nasib seorang pelari dalam perlombaan marathon lintas alam. Ia harus mengeluarkan energi yang besar, namun tidak tahu di mana dan bagaimana keadaan garis startnya sebelum berlari, bagaimana pula keadaan alamnya. Lebih celaka lagi tidak tahu di mana garis finishnya. Akhirnya sang pelari terus berlari tiada pernah henti seperti lari marathonnya Mr.Forest Gump yang tidak tahu garis start dan finish-nya.